Mohon tunggu...
Taufik Bilfaqih
Taufik Bilfaqih Mohon Tunggu... Dosen - Ketua Yayasan Alhikam Cinta Indonesia | Politisi PSI

| Pembelajar |

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bawaslu Bukan Pendukung Koruptor

28 Agustus 2018   23:39 Diperbarui: 28 Agustus 2018   23:59 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan calon legislatif (Caleg) mantan terpidana koruptor. Bawaslu Tana Toraja, Aceh dan Sulawesi Utara. Sejumlah kalangan banyak yang memaklumi. Tak sedikit pula yang kecewa. Utamanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku pembuat peraturan larangan kepada eks terpidana korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.

Persyaratan ini tertuang di Peraturan KPU (PKPU), pasal 7 No. 20 Tahun 2018. Akhirnya, ramai pemberitaan, Bawaslu dianggap mengabaikan dan tak menghormati PKPU yang statusnya sah dan telah diundangkan.

Hajatan besar KPU untuk menjadikan pemilu kali ini bersih serta melahirkan produk-produk pemimpin negeri yang berkualitas memang perlu diapresiasi melalui PKPU tersebut. Sebab, tiga prilaku (Korupsi, Kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba) adalah jenis Extraordinary Crime  yang berpotensi akan terulang lagi bagi para pelakunya.

Dengan PKPU ini, bisa saja membuat setiap orang mampu mengontrol diri, bahkan jika ia adalah seorang legislator yang sedang menjabat dan akan maju lagi, sebisa mungkin menghindari prilaku tersebut. Dari sisi ini, sungguh semua orang akan setuju dengan keberadaan PKPU 20.

Harus diingat, Bawaslu pun turut mengkampanyekan agar setiap partai politik (parpol) sebagai peserta pemilu tidak mengusung calegnya yang mantan terpidana korupsi. Sejak bulan Juli 2018, Bawaslu RI menyambangi seluruh kantor-kantor DPP parpol untuk mensosialisasikan pengawasan tahapan pencalonan pada pemilu 2019 serta menyodorkan pakta integritas.

Isi pakta integritas tersebut adalah meminta parpol berkomitmen untuk tidak mencalonkan Anggota DPR, DPRD atau Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan atau terlibat tindak pidana korupsi, obat-obatan terlarang, terorisme, dan kejahatan seksual.

Jadi, baik KPU maupun Bawaslu, sama-sama memiliki hajatan untuk menjadikan pemilu nanti benar-benar memproduksi para elit yang bersih dan berkualitas. Di awal-awal bulan Agustus pun, Bawaslu justru merilis data 207 caleg disemua tingkatan yang terlibat korupsi. Ini adalah bentuk pengawasan kepada parpol-parpol yang telah membuat pakta integritas.

Pertanyaannya, mengapa beberapa Bawaslu daerah meloloskan eks terpidana korupsi? Padahal PKPU telah diundangkan dan hanya Mahkamah Agung (MA) lah yang berwenang untuk membatalkannya.

Setidaknya, ada dua hal yang menjadi pokok pembahasan dan ramai diperbincangkan. Pertama, Bawaslu dianggap memiliki tafsir umum terkait PKPU ini melalui asas lex superior derogat legi inferior (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah). Bagi Bawaslu, Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur syarat caleg dengan jelas pada Pasal 240 ayat (1) yang menyebutkan bahwa caleg tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Jika PKPU mengatur lebih jauh terkait pasal ini, maka produk hukum ini pun dianggap bertentangan dan melampaui UU.

Kedua, sebagaimana yang pernah diungkapkan Fritz Edward Siregar, Anggota Bawaslu RI, ia mengutip UUD 1945 Pasal 28 J ayat 2 termaktub bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. (Nasional Tempo, 05/18) Dengan kata lain, hanya undang-undanglah yang dapat menghalangi seseorang memilih maupun dipilih. Bukan PKPU.

Dua hal di atas, menggambarkan bahwa Bawaslu begitu normatif dan menyesuaikan dengan kewenangan yang mesti dilakukan, yakni bekerja berdasarkan undang-undang. Tentu masih banyak lagi alasan pokok mengapa dalam memutus sengketa caleg mantan terpidana korupsi dengan KPU yang membuat status mereka Tidak Memenuhi Syarat (TMS), Bawaslu justru menerima permohonan para caleg tersebut. Sehingga, anggapan bahwa Bawaslu menyalahi wewenang karena tidak mengindahkan PKPU, pun tidak sepenuhnya diterima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun