Jika ditelisik lebih jauh, pada PKPU itu, pasal 4 menyebutkan bahwa setiap Partai Politik melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART, dan/atau peraturan internal masing-masing Partai Politik.Â
Sementara, bakal calon tersebut harus memenuhi syarat sebagaimana diatur pada Bagian Ketiga pasal 7, diantaranya adalah bukan mantan terpidana korupsi. Jadi, yang seharusnya melakukan TMS kepada bakal caleg adalah parpol. Kalaupun masih ada bacaleg eks koruptor yang diloloskan, maka parpollah yang mesti diberi sanksi. Bukan person caleg.
Untuk menghindari parpol meloloskan bakal calon legislatif mantan terpidana korupsi, kejatahan seksual kepada anak, dan bandar narkoba, justru Bawaslu begitu intens hingga melahirkan pakta integritas. Jelaslah, bahwa Bawaslu bukan pendukung koruptor. Maka tak perlu heran pula, jika sengketa sejenis di daerah lainnya, bisa saja akan berakhir dengan menerima permohonan para caleg yang di TMS-kan KPU terkait PKPU 20 itu.
Barangkali, melalui "kisruh" ini, akhirnya ada hikmah terbaik bagi pendidikan politik bangsa Indonesia. Rakyat setidaknya tahu siapa caleg yang bersih dan mana yang melakukan dan pernah terlibat korupsi. Oleh Ferry Liando, pegiat tata kelola pemilu asal Manado, menyebut situasi ini sebagai pertentangan prinsip yuridis dan sosiologis. Maka rakyatlah sebagai hakim terakhir untuk menentukan pilihannya. Wallahu 'alam.
Taufik Bilfaqih (Anggota Bawaslu Kota Manado/Koordiv. Pengawasan, Humas dan Huba)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H