Ada baiknya Menteri Agama merekomendasikan daftar penceramah buat umat Islam Indonesia sebagai bentuk pencegahan dari paham radikal yang mengarah pada semangat saling benci. Tapi, siapa yang dipilih dan siapa yang tidak,akan berujung pada pandangan skeptis beberapa pihak. Sebab, hampir semua penceramah memiliki simpatisannya masing-masing bahkan dengan jumlah yang tidak sedikit. Hal ini berpotensi pada situasi perpecahan karena adanya dikotomi.
Meski Lukman Hakim (Menteri Agama) menyatakan bahwa list muballigh dari pemerintah itu masih bersifat dinamis, akan ada penambahan nama-nama pendakwah lainnya, pengumuman ini sudah menimbulkan polemik di kalangan publik. Kementerian Agama seolah sedang menunjukkan kepeduliannya untuk menghambat paham-paham ekstream tetapi dengan cara yang sesungguhnya ekstream pula.
Memang, kebijakan ini nampaknya sebagai respon atas maraknya muballigh-muballigh berpaham redikal bahkan penebar kebencian atas nama agama. Apalagi belum lama ini terjadi peristiwa bom bunuh diri yang motifnya adalah agama. Ditambah lagi akses informasi di media sosial begitu mudah dengan tampilan-tampilan syiar agama oleh ustadz-ustadz pemarahan.
Namun, ketika kebijakan ini muncul, sesungguhnya disaat yang bersamaan pemerintah melahirkan semangat kebencian baru dari umat yang merasa ulamanya tidak tercantum. Lepas dari adanya kriteria standar menurut pemerintah, tetap saja ini menjadi blunder.
Bagi Saya, jauh lebih baik Menteri Agama mendatangi semua muballigh, atau mengundang mereka, khususnya ustadz-ustadz yang dianggap memiliki pandangan keras. Ajak mereka berdialog, berikan masukan kepada mereka tentang pentingnya membawa misi agama dengan tenang, terima aspirasi mereka, ajak bekerja sama dengan semua kalangan dan bahkan berikan mereka kepercayaan sebagai bagian dari tokoh agama yang ikut membangun negeri.
Ustadz keras, muballigh pemarahan atau siapa saja pemuka agama yang dianggap membahayakan ujaran-ujarannya, adalah orang-orang yang punya eksistensi, punya massa dan memiliki power dipublik. Jika mereka mendapatkan perlakuan tak adil dari negara, justru benih-benih konflik akan terlihat.
Coba perhatikan, tokoh agama yang selama ini instens menjaga misi perdamaian adalah orang itu-itu saja. Besok terjadi BOM, maka seminar-seminar kerukunan hanya diisi oleh ustadz yang kemarin membawa ceramahnya pada tragedi SARA sebelumnya. Bahkan, organisasi-oraganisasinya, yang itu-itu saja.
Manusia punya ego. Setiap kelompok pun demikian. Dikotomi yang dilakukan pemerintah kepada tokoh agama dan kelompoknya adalah bagian dari pemeliharaan benih kebencian antar golongan. Maka tunggulah problem-problem sosial nantinya akan muncul.
Di sisi lain, penceramah dan kelompok yang dianggap pemerintah tidak memiliki komitmen kebangsaan ini tidak kuasa memposisikan diri dengan baik. Seyogyanya, mereka harus menyadari bahwa di republik ini telah lahir sejak awal ormas-ormas Islam jauh sebelum kemerdekaan. NU, Muhammadiyah, SI dan lainnya adalah anugerah terbesar bagi keberlangsungan kemerdekaan di tanah air Indonesia.
Seharusnya, sebagai pendatang baru, organisasi berbasis Islam yang belakangan hadir tidaklah boleh ahistory. Lepas dari pandangan yang berbeda dalam menyikapi setiap tafsir teks suci, apapun keadaannya para penceramah dengan ideologi impornya haruslah sowan dan takdzim kepada ulama-ulama terdahulu yang telah melahirkan ormas Islam dengan segenap prestasi untuk menjaga Indonesia dari kolonialisme. Bukannya melakukan perlawanan bahkan provokasi kepada ummat.
Kendati demikian, banyak juga penceramah jebolan ormas besar Islam di Indonesia yang tidak direkomendasikan Kemenag. Sebab, tidak bisa dipungkiri, ustadz-ustadz pengujar kebencian pun banyak diantaranya merupakan warga dari ormas tersebut.
Menteri Agama, harusnya menggunakan metode yang selama ini dikenal dalam ilmu dakwah, yakni mengajak dan merangkul dengan hikmah wal mauidzatul hasanah. Jangan membuat jurang antara mereka yang dianggap keras dengan mereka yang diposisikan menyejukkan.
Pemerintah tidak boleh "bermusuhan" dengan ulama dan ummat.
Tokoh Islam dan ormasnya yang sudah mengawal Indonesia sejak awal harus ikut bekerjasama dengan pemuka dan organisasi Islam lainnya. Sebaliknya, muballigh impor diharapkan menghargai Islam Indonesia dengan seperangkat dakwahnya yang sudah membumi. Jangan lagi teriak-teriak menggunakan ayat Tuhan sambil menabur kebencian.
Kalau hal ini bisa dilakukan, list para muballigh itu tak perlu ada. Karena pemerintah percaya bahwa semua penceramah adalah penabur perdamaian.
Walau begitu, semoga saja tidak ada motif politik 2019 oleh Kemenag !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H