Mohon tunggu...
Taufik Aulia Rahmat
Taufik Aulia Rahmat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Asisten Peneliti LAPAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Euforia Pemilu, Pencerdasan Politik Terabaikan

10 April 2014   09:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adalah hal yang sangat penting ketika kita menyoroti semakin besarnya persentase masyarakat yang memilih golput pada pemilu 5 tahunan di negara ini. Pada pemilu 1999 tercatat 10% yang tidak menggunakan hak pilihnya. Pemilu 2004 meningkat dua kali lipatnya sebesar 23,34%. Dan terakhir pada pemilu 2009 juga meningkat dua kali lipatnya sebanyak 40%. Inilah yang dituturkan Gamawan Fauzi yang saya kutip dari salah satu portal berita online.

Dalam diskusi Ungkap Caleg (3/4) yang diadakan BEM KM Undip, Bapak Susilo Utomo, panelis, memaparkan data yang menunjukkan mayoritas masyarakat menentukan pilihannya karena faktor figuritas dan uang. Yang paling santer diberitakan media, itulah yang dipilih masyarakat. Tidak peduli setidak rasional apapun. Yang paling getol memberi uang saweran atau serangan fajar, dialah yang dipilih.

Semua sepakat bahwa Indonesia jika benar ingin sejahtera dan menjadi negara adidaya, negara ini harus dipimpin oleh seorang yang mumpuni, memiliki visi dan gagasan pasti, serta teruji. Demokrasi yang kita anut memberi ruang semacam kompetisi untuk menjadi pemimpin negeri ini. Ini yang sedang kita hadapi di depan mata tepat, Pemilu. Di depan sana sudah banyak orang mengantri dan menjajaki diri untuk memimpin negeri ini.

Salah satu fungsi partai politik adalah melakukan sosialisasi politik yang akan membentuk sikap dan orientasi politik masyarakat. Dengan kata lain partai politik juga memiliki tanggung jawab melaksanakan pencerdasan politik. Hanya saja hal ini belum banyak dilakukan karena banyak partai politik yang disibukkan dengan urusan pemilihan umum dan menyelesaikan konflik internal. Partai politik juga belum mampu memberi suri tauladan bagi perilaku politik yang etis dan sesuai dengan nilai budaya bangsa yang bermartabat.

Dan pada gilirannya masyarakat jadi bulan-bulanan. Terjadi kegamangan di tengah masyarakat. Yang selalu jadi makanan bagi masyarakat adalah berita-berita negatif dunia politik negeri ini sehingga banyak kekecewaan muncul. Wajar jika semakin banyak yang apatis.

Belum lagi sangat marak politik pencitraan akhir-akhir ini. Lewat media-media yang dikuasai oleh satu atau beberapa orang, sangat mudah mencitrakan pihak-pihak yang memiliki ambisi untuk menguasai negeri ini. Yang paling laku adalah sosok spesial yang ‘suka blusukan’ dan turun langsung ke tengah masyarakat. Hal ini jelas terjadi sebab masyarakat sangat merindukan pemimpin seperti ini. Pencitraan jelas boleh, tapi kalau berlebihan dan mengenyampingkan sisi rasionalitas rasanya ini sudah masuk ke dalam kategori pembohongan publik.

Masyarakat kita secara umum, tertutama kalangan menengah ke bawah, masih terlalu lugu untuk bisa menyaring segala informasi yang masuk. Maka, jadilah semua ditelan mentah-mentah dan gampang disetir wacananya. Skarang lembaga survei semakin marak dan berjamuran. Tentunya ini lahan yang sangat komersial, apalagi jelang pemilu. Tanpa mengurangi kesantunan saya kepada semua lembaga survei, saya katakan disini amat besar peluang terjadinya penyelewengan data sehingga lagi-lagi sangat mudah menyetir wacana. Dan kita sangat mafhum bahwa negara ini meyakini bahwa kekuasaan di negara ini dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka, apa jadinya jika rakyat yang merupakan penguasa sah negara ini sangat mudah dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu?

Kembali pada bahasan sebelumnya bahwa pencerdasan politik ini penting agar masyarakat tidak jadi bola yang mudah digiring kemana pun perginya. Masyarakat harus mengerti tentang kondisi riil hari ini. Masyarakat harus mampu memilah dan memilih secara rasional di antara pilihan yang ada. Jangan sampai terbutakan hanya karena wacana media.

Pada kasus pemilu ini masyarakat hendaknya mampu melihat mana pemimpin yang memang siap sebagai pemimpin, lengkap dengan gagasannya. Bukan sekadar pencitraan lewat blusukan. Sebab blusukan bukanlah prestasi, tapi sekadar kebiasaan baik yang amat jarang. Hendaknya pula masyarakat mampu melihat mana pihak-pihak yang bersih dan profesional dalam mengemban tugasnya.

Ketika kondisi hari ini seperti penjabaran di atas dimana partai politik amat acuh dengan pencerdasan masyarakat dan terkesan memanfaatkan keluguan masyarakat, serta media telah kehilangan porsinya sebagai media netral lewat pencitraan lebay-nya, maka pencerdasan politik menjadi tanggung jawab siapa?

Tulisan ini hendak memaksa pemerintah, parpol, dan media, melakukan pencerdasan politik yang mencerdaskan. Lebih dari itu tulisan ini ingin mengetuk hati dan menggerak rasionalitas kita untuk mampu melakukan satu dua hal demi terwujudnya masyarakat yang cerdas dalam menentukan pilihan. Tidak disetir figuritas terlalu dalam dan uang sepeser.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun