Melalui MDM yang sudah diakta notariskan bernama "Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Rimueng Aulia", masyarakat dilatih untuk memahami dinamika konflik, mengidentifikasi fase awalnya, dan merumuskan tindakan mitigasi. Pendekatan ini juga melibatkan kelompok masyarakat untuk memperkuat solidaritas dan kerjasama dalam menghadapi tantangan bersama. Dengan begitu, mereka tidak lagi menjadi pihak yang hanya menanggung risiko, tetapi menjadi bagian aktif dalam solusi.
Panton Luas adalah cerminan wilayah yang berada di garis depan konservasi dan kehidupan manusia. Di sini, harmoni antara manusia dan harimau bukan sekadar cita-cita, melainkan kebutuhan mendesak. Harimau adalah simbol keberlanjutan ekosistem, sementara masyarakat adalah penjaga tradisi dan peradaban.
Konflik ini mengajarkan kita tentang pentingnya adaptasi dan kolaborasi. Bahwa manusia, dengan segala kecerdasannya, tidak harus menjadi penguasa, tetapi mitra bagi alam. Seperti langkah MDM yang diterapkan di Panton Luas, harmoni hanya dapat dicapai jika ada kepercayaan, komunikasi, dan pemahaman mendalam antara kedua belah pihak.
Pawang Harimau: Penjaga Kearifan Lokal
Pawang harimau itu bernama Masrita adalah figur yang memiliki pemahaman mendalam tentang perilaku harimau dan ekosistem hutan. Dengan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun, mereka memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan satwa liar. Dalam tradisi Aceh Selatan, pawang harimau tidak hanya mengandalkan ritual dan doa, tetapi juga pengetahuan praktis tentang perilaku satwa, pola migrasi, dan tanda-tanda kemunculannya.
Salah satu ritual penting yang sering dilakukan oleh pawang adalah kenduri tulak bala. Ritual ini melibatkan doa bersama dan penyembelihan hewan yang di letakkan di jalur harimau. Kenduri ini juga sebagai bentuk syukur sekaligus permohonan perlindungan dari marabahaya, termasuk ancaman harimau. Kenduri ini biasanya dihadiri oleh masyarakat setempat, di mana mereka bersama-sama berdoa untuk keselamatan desa dan keharmonisan hubungan dengan alam sekitar. Tradisi ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam.
Selain ritual tersebut, pawang juga mendorong penanaman tanaman kecombrang (Etlingera elatior) di sekitar wilayah pemukiman sebagai salah satu upaya mitigasi konflik. Tanaman ini dikenal tidak disukai oleh harimau dan sekaligus menjadi penanda batas wilayah pemukiman masyarakat. Kecombrang tidak hanya berfungsi sebagai penghalang alami, tetapi juga memiliki nilai ekonomi bagi warga karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan masakan dan obat tradisional.
Pawang sering kali menjadi garda terdepan dalam menangani konflik satwa liar. Ketika harimau terlihat di sekitar permukiman, pawang memberikan panduan kepada masyarakat tentang cara mengurangi risiko. Mereka juga menjadi jembatan antara manusia dan satwa liar, memastikan bahwa tindakan manusia tidak memperburuk situasi konflik.
KSM Rimung Aulia: Pendekatan Modern untuk Konservasi
KSM Rimung Aulia lahir dari kebutuhan untuk memperkuat upaya konservasi di Panton Luas dan sekitarnya. Sebagai kelompok swadaya masyarakat, mereka fokus pada pelestarian satwa liar, khususnya harimau sumatera, melalui pendekatan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Rimung Aulia membawa perspektif modern dalam penanganan konflik manusia-harimau, termasuk pengelolaan habitat, edukasi masyarakat, dan pengembangan strategi mitigasi berbasis data.
Pendekatan yang digunakan KSM ini sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterapkan dalam program Masyarakat Desa Mandiri (MDM) oleh dan BKSDA Aceh. KSM Rimung Aulia tidak hanya memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang cara merespons konflik, tetapi juga menciptakan kesadaran akan pentingnya konservasi harimau untuk ekosistem yang sehat.