Mohon tunggu...
Taufik Ikhsan
Taufik Ikhsan Mohon Tunggu... Guru - Ras Manusia

Art-enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jika Aku Bertato dan Bertindik, Maukah Kau Dengar Ceramahku? Mendobrak Dinding Bias di Hati

30 April 2021   19:51 Diperbarui: 30 April 2021   19:57 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, setelah sahur dan sholat subuh, di grup whatsapp seorang teman membagikan sebuah video dari platform youtube. Isinya ternyata ceramah tentang berprilaku baik di Bulan Ramadhan. Sang penceramah mengenakan baju koko putih, kopiah hitam, sorban di bahu kanan, dan sarung warna biru bermotif batik.

Dari lima belas menit durasi video tersebut, banyak sekali kutipan Al-Quran dan hadist yang disampaikan. Saya berpikir, ini wajar, budaya masyarakat muslim di Indonesia dalam menyampaikan perihal agama: berpakaian rapih dan menyampaikan banyak kutipan ayat suci Al-Quran atau hadist. Saya pun menggunakannya sebagai standar.

Dua tahun di Amerika, saya menemukan hal yang berbeda. Dari banyak ritual Sholat Jumat yang saya ikuti, saya tidak menemukan standar yang saya gunakan selama hampir 30 tahun bersentuhan dengan Islam di Indonesia. Jika kita menganggap kemeja, jas, t-shirt, sweater, dan jeans adalah fashion budaya barat. Maka saya bisa bilang, saya melihat Islam dari tampilan budaya barat dihampir setiap ibadah Sholat Jumat.

Pun saya tidak banyak mendengar kutipan Al-Quran dan hadist digunakan dalam sebuah ceramah. Mayoritas isinya adalah pengalaman emosional pribadi si penceramah dan penerapan apa yang didalam Al-Quran atau hadist. Saya pun bertanya, "kenapa mereka berbeda?" atau harus saya tanya "kenapa saya berbeda?".

Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan mana yang lebih baik, tidak sama sekali. Namun jika anda menemukannya demikian, saya mohon maaf untuk hal itu.

Pertama -- Jika menggunakan pendekatan komunikasi, mengetahui siapa pendengar kita adalah hal yang esensial. Dalam konteks Sholat Jumat, tujuan penceramah adalah mempengaruhi atau merubah perilaku si pendengar. Jika saya harus mendobrak sisi emosional dan batin anda, kira-kira apa yang harus saya sampaikan? Apakah pengetahuan (ayat dan dalil) agama yg saya tau? Atau petualangan spiritual saya dalam berkehidupan agama? Dalam belajar, personalisasi dan emosi sama pentingnya dengan kapasitas kognisi seseorang dalam mengubah/mempengaruhi perilaku (overt atau covert behavior).

Kedua -- Pemahaman etika sangat penting dalam menjembatani komunikasi lintas budaya, agar stigma tidak memicu gesekan yang tidak diharapkan. Sederhananya, ketika kita bersinggungan dengan budaya baru, ada setidaknya tiga fase yang kita lalui: 1) Wow, hal ini baru untuk saya dan saya sangat tertarik, 2) Tunggu, ini sangat salah dan bertentangan dengan apa yang saya yakini atau Hmm, sangat menarik bagaimana kita berbeda dan saya ingin mempelajarinya, dan 3) Saya ingin pergi dari sini atau perbedaan adalah hal yang nyata dan saya bisa hidup didalamnya.

Hal ini yang saya alami dari interaksi dengan budaya fashion di atas. Saya yang datang dari desa dengan budaya santun versi komunitas saya, harus bercengkrama dengan perbedaan yang membuat batin saya bergejolak -- maaf, ini adalah pilihan kata terburuk buat saya. Mungkin lebih ke pertarungan pada poin kedua tadi, fase dimana paling banyak membutuhkan waktu.

Interaksi dari dua budaya tadi ibarat memahat satu helai bulu mata dari keseluruhan wajah Islam dunia yang sesungguhnya. Sangat sedikit yang saya pelajari selama ini, dan masih banyak yang belum saya mengerti. Saya teringat perkataan seorang Kyai dari Ponpes Raudlatuh Tholibin, Rembang. "silahkan jika mau berpikir se-radikal apapun, tapi jangan pernah berhenti BELAJAR".

Diakhir, saya kutip beberapa kalimat dari salah satu buku favorit saya -- How the World Thinks, Julian Baggini. "By gaining greater knowledge of how others think, we can become less certain of the knowledge we think we have, which is always the first step to a greater understanding ... As the world shrinks, this kind of self-understanding is essential. If cultures are to meet rather than clash, we need to understand not just how others differ from ourselves, but how we differ from them".

Terima kasih sudah membaca.

Bloomington, USA. Hari ke 18 Ramadhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun