Mungkin tulisan ini terlalu dini atau prematur untuk didokumentasikan, direkam, dan menjadi jejak digital untuk saya. Namun, jika pengetahuan bisa ditunda untuk disampaikan, tapi tidak dengan perasaan. Karena itu, dalam tulisan ini, perasaanlah yang memilih kata, frasa, hingga paragraf sampai menjadi tulisan yang utuh.Â
Jadi, tulisan ini sepenuhnya adalah perasaan saya, yang mungkin bisa salah. Karena dari dulu juga perasaan saya bilang kalau saya ganteng, walau kenyataan sering bertolak belakang! :D
Tulisan dengan topik ini pasti tidak sulit ditemukan. Kamu bisa cari di internet dan menemukan ratusan cerita historikal dan fenomenal tentang masa transisi ini. Iya! Transisi para pelajar Indonesia di tahun pertamanya!Â
Banyak perjuangan yang bisa kita rasakan hingga kita seperti berada didalamnya. Merasakan dimensi emosi yang beragam, pasang surut perjuangan, hingga keberhasilan haqiqi yang dicapai dengan keringat dan pengorbanan.Â
Namun, tulisan ini saya tulis sedikit berbeda! Tulisan ini dari pandangan seorang suami dan ayah dari dua anak, yang mengenyam pendidikan hingga hanya doa yang bisa memeluk keluarganya.
Bagian 1: tentang makanan
Seperti judulnya, ini adalah bagian pertama. Salah satu tantang yang saya dan mungkin banyak pelajar hadapi ketika berada dalam masa transisi. Dan hal itu adalah makanan.Â
Saya kadang berpikir, jika saya sering berkomunikasi dengan Bahasa Inggris, maka makanan kesukaan saya pun akan berganti. Saya selalu berkhayal, jika saya berbicara Bahasa Inggris terus menerus, maka lidah saya akan lebih suka dengan roti, salad, burger, sandwich, dan chips.Â
Tapi ternyata saya salah! Saya harus berkontemplasi dengan air mata (lebay!) terlebih dulu ketika memakan sambal terasi terakhir yang saya bawa dari Indonesia.
Ketika berbelanja di supermarket terdekat, Kroger, saya melihat etalase yang menyajikan produk salad siap saji (gambarnya seperti di atas). Saya ambil satu dengan harapan saya akan menikmati makan sayuran mentah yang dicampur creamy ranch dressing sebagai perasa.Â