Mohon tunggu...
Taufik Ikhsan
Taufik Ikhsan Mohon Tunggu... Guru - Ras Manusia

Art-enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

How Do You Describe Politics to Children?

22 April 2017   09:16 Diperbarui: 22 April 2017   20:00 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TV di rumah sudah sangat jarang dinyalakan, kecuali ketika ada pertandingan Liga Champions di babak knockout dan LSI 2017 yang baru saja dimulai. Berita nasional dan internasional, terutama politik dalam negeri, sudah sangat sedikit dikonsumsi, itupun seringnya dari running news yang ada ketika pertandingan sepakbola lalu saya googling di smartphone. Bagi saya, berita saat ini sudah jauh dari kata mendidik, bahkan cenderung bersifat pengendalian kehidupan dengan cara penyebaran ketakutan, kebencian, dan ketidakmampuan nalar memahami manusia seutuhnya. 

Sekali saya bangun di jam 1 pagi, untuk menikmati pertandingan Real Madrid vs Bayern Munich, yang saya temukan di program-program berita adalah suguhan tentang pembunuhan, kekerasan, pelanggaran hukum, dan tindak kriminalitas lainnya. Jika saya terus mengkonsumsi informasi seperti ini ketika saya memulai hari tiap pagi, sudah tentu sepanjang hari saya akan bergumam "manusiaa,, manusiaa" dengan nada pesimis untuk menemukan kebahagiaan hidup hakiki diantara kita.

Pilkada DKI mungkin hidangan yang masih hangat, kalau saya tidak salah, bukan karena hasilnya. Namun karena dampak pengiringnya masih terasa di dunia maya. Tulisan (artikel dan status di sosial media) bernada besar hati namun sakit hati atau yang low profile namun jumawa, masih terasa menghiasi halaman muka dari media yang ada. Saya tidak bilang bahwa ini buruk, justru saya menyukai hal ini terjadi karena makin banyak yang peduli dengan suasana politik di negeri ini. Namun, alangkah baiknya, politik yang kondusif tidak hanya masyarakat bangun dalam bentuk untaian kalimat dalam artikel, namun juga membangunnya dalam suasana bermasyarakat dilingkungan sekitar.

Membaca deretan argumentasi hingga prediksi prematur yang tersebar, justru bukan memicu saya untuk ikut-ikutan menulis pembicaraan yang serupa. Justru saya malah tertarik menulis tentang bagaimana kita sebagai orang dewasa menjelaskan pemahaman dan pentingnya politik kepada putra-putri kita penerus bangsa. Karena yang saya temukan ketika saya kedapatan menonton berita politik, anak saya usia tiga tahun, malah memilih menonton Masha and The Bear. Andaikan dia tau bahwa Masha and The Bear bukan lah yang menentukan anggaran tarik dasar listrik, harga susu, dan kebutuhan rumah tangga lainnya, mungkin dia juga akan ikut-ikutan berkomentar tentang situasi politik di negeri ini.

Saya pernah membaca sebuah buku dimana terdapat cerita seorang anak bertanya kepada ayahnya tentang "apa itu politik?". Sang ayah tidak mau menjawab, dan menjelaskan kepada anaknya bahwa dia akan mengerti politik dengan sendirinya. Suatu malam, sang anak terbangun mendapati adik bayinya menangis kelaparan. Dia pun mengetuk pintu kamar kakek dan neneknya, namun pintu terkunci dan terdengar suara dengkuran dari dalam. Sang anak bergegas ke kamar orangtuanya, dia mengetuk, namun menemukan pintu kamar ditutup dan terkunci dari dalam. Dan dari dalam kamar, dia mendengar suara erangan dan desahan yang belum sepenuhnya dia mengerti.

Merasa putus asa meminta bantuan, dia kembali ke adik bayinya yang masih menangis di tempat tidur. Dia bingung berbuat apa, dan membiarkan adik bayinya kembali tidur karena kelelahan menangis. Seminggu kemudian dalam sebuah sarapan pagi di keluarga itu, sang ayah bertanya kepada anaknya "nak, apakah kau sudah menemukan apa arti politik?", "sudah ayah",  "apa itu politik nak?", sang anak menjawab dengan tatapan kosong "politik adalah ketika rakyat kecil menangis kelaparan, sementara pemerintah hanya mampu diam, selagi pemegang dana atau pengusaha menjamah dan memeras tenaga buruh, dan rakyat biasa hanya bisa melihat itu semua denga rasa pasrah tanpa arah". Itulah politik di mata anak tersebut.

Belajar dari analogi di atas, tentu sang anak cenderung menafsirkan politik dalam suatu keadaan yang kompleks, tidak teratur, dan tendensius ke arah ketidakadilan. Membiarkan anak bahkan remaja belajar dan memahami politik secara konstruktivistik bukanlah suatu hal yang tepat. Ada beberapa hal yang sudah sewajarnya orangtua mengambil peran seutuhnya dalam membimbing dan meluruskan persepsi anak. Saya mengakui bahwa ketidaksukaan saya tentang politik berawal dari media masa yang lupa menyebarkan konsep politik dalam konteks yang sehat. Dimana pelaku politik menunjukkan sikap politik yang memanusiakan bangsa Indonesia. Walaupun sangat jarang.

Dan mungkin, pemahaman politik yang diajarkan pada anak jangan mengambil dalam konteks yang besar. Konteks keluarga pun bisa jadi diibaratkan sebagai manifestasi kehidupan politik yang sehat dan membangun setiap individunya bahagia. Sehingga kelak anak beranjak dewasa, mereka memiliki motivasi yang baik untuk membuat lingkungan politik yang membahagiakan setiap individu yang tinggal dilingkungannya. Mulailah dari keluarga, karena siapa lagi yang akan memimpin kehidupan politik dari berbagai sektor pembangunan di negeri ini, kalau bukan anak-anak kita kelask. Inipun jadi tamparan untuk saya sebagai orangtua yang tidak terlalu suka menonton berita di TV. :D

Malang, April 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun