Miris rasanya mencermati perkembangan terakhir aksi besar-besaran massa yang menduduki Pelabuhan Sape Bima-NTB sejak sabtu (17/12/11) lalu. Aksi ini diperkirakan diikuti lebih dari 5.000 orang, masyarakat memblokade dermaga, sehingga arus penyebrangan Ferry terhenti. Padahal seperti diketahui bersama bahwa pelabuhan Sape adalah semacam “Pintu Kehidupan” bagi masuk dan tersuplainya kebutuhan pokok bagi Propinsi NTT, khususnya Pulau Flores (Labuan Bajo) dan Pulau Sumba (Pelabuhan Waikelo). Kejadian ini juga telah menyita perhatian nasional, terbukti dengan gencarnya pemberitaan atas peristiwa ini baik oleh media elektronik, media cetak, maupun media online.
Aksi massa ini ditengarai berawal dari keresahan dan kemarahan masyarakat yang berawal dari SK Bupati Bima nomor: 188.45/357/004/2010 tentang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan eksplorasi kepada PT SMN dengan cakupan luas wilayah tambang dalam SK tersebut adalah 24.980 Ha yang terbagi dalam 3 kecamatan, yaitu Sape, Lambu dan Langgudu.
Sebenarnya ini bukan aksi pertama, eksalasi gerakan penolakan atas tambang di kabupaten Bima sudah berlangsung 2 tahun terakhir. Wera pernah bergolak dengan aksi tolak tambang pasir besinya, Parado pernah berkobar atas penolakan warganya terhadap tambang emasnya, Sape, Langgudu, (yang terkonsentrasi) di Lambu pun pernah membara pada bulan Februari awal tahun lalu yang berakibat ludesnya kantor Camat Lambu serta beberapa kendaraan yang terparkir diganyang si Jago Merah.
Ada hal yang bagi kita cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut terkait pernyataan Bupati Bima (20/11/12) seperti yang diberitakan oleh media:
"Mencabut SK Bupati terkait Pertambangan Lambu tidak bisa kami lakukan, sebab UU sangat jelas mengatur itu, kecuali menghentikan sementara waktu dan UU menetapkan 1 tahun untuk penghentian sementara atas pertambangan yang dimaksud…"
Berkaitan statement tersebut, menurut hemat kami ada semacam “pengelesan” dalam pernyataan Bupati. Dalam kedudukannya sebagai suatu kebijakan tertulis, SK Bupati pada dasarnya dapat digolongkan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Ini bukanlah sebuah putusan yang bersifat final dan tidak bisa dicarikan upaya hukum atasnya, baik berupa pencabutan SK Lama dan digantikan oleh SK baru, atau jika perlu me-PTUN-kan SK tersebut.SK Bupati bukanlah semacam “kitab suci” atau Firman Tuhan yang tidak bisa dianulir jika memang ditemukan sesuatu yang menyimpang dari Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (good governance). Sehubungan dengan kewajiban melaksanakan pelayanan publik bagi pemerintah, cukuplah Sipayung kita jadikan argumen; “Setiap orang mempunyai hak begitu juga kewajiban. Sebagaimana seorang warga negara, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan yang baik dari pemerintah. Tiap orang juga berhak memperoleh perlindungan hukum dari tindakan sewenang-wenang dari pejabat tata usaha negara sendiri.”
Hukum, dalam hal ini hukum administrasi negara dalam bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang berwujud SK Bupati Bima Nomor 188.45/357/004/2010 dalam konteks bidang pelayanan publik tidak boleh dipahami sebagai entitas normatif yang objektif semata, tetapi harus dipahami sebagai dependen variable dari suatu proses sosial politik yang melibatkan sejumlah aktor individu yang berpartisipasi dalam suatu proses.
Masyarakat dana Mbojo bukanlah segerombolan massa yang tidak mengerti akan hak dan kewajibannya. Dalam kondisi perkembangan masyarakat yang dinamis, masyarakat semakin cerdas, untuk itu birokrasi publik harus dapat memberikan layanan yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif, serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Hal ini seiring dengan berkembangnya kesadaran bahwa warga negara dalam kehidupan bernegara bangsa yang demokratik memiliki hak untuk dilayani. Tugas dan sekaligus wewenang pemerintah untuk bertindak sebagai regulator dan sekaligus implementator kebijakan.
Di sini kami juga memberikan pandangan, bahwasanya aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya didasarkan atas suatu dasar yaitu kewenangan. Ada kewenangan yang diberikan langsung oleh undang-undang dan ada yang diberikan oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Atas dasar kewenangan inilah yang harus diwujudkan dalam bentuk upaya membangun tata pemerintahan yang baik, yang pada hakikatnya mencakup pula upaya membangun sistem nilai dalam penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan partisipatif, berdasarkan nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara..
Dalam Negara modern dewasa ini yang dikenal dengan istilah “Welfare State” atau Negara kesejahteraan, mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bertindak menyelesaikan segala aspek/ persoalan yang menyangkut kehidupan warga negaranya, walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya, apalagi jika sudah diatur oleh undang-undang seperti pernyataan Bupati di atas.
Solusi, Jika Itikad Baik Itu Ada
Ada “Kesaktian” yang sebenarnya dimiliki oleh Bupati jika memang beritikad untuk menegedepankan kepentingan masyarakat Dana Mbojo. Pemerintah memiliki kewenangan/ kebebasan untuk dapat bertindak sendiri atas inisiatif sendiri demi kepentingan rakyatnya. Dalam literature Hukum Administrasi Negara (HAN) itu disebut dengan istilah “Freies Ermessen”. Ada keleluasaan bergerak yang diberikan kepada administrasi negara (pemerintah), suatu kebebasan bertindak yang dalam dunia hukum dan pemerintahan di Indonesia seringkali disebut sebagai diskresi. Istilah ini sepadan dengan kata freies ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
Namun dalam pelaksanannya terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi.Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan oleh Sjahran Basah, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.
Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah (termasuk pemerintah daerah) berkewajiban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum).
Perubahan yang terjadi di bidang sosial-kultural dan politik berdampak pada terjadinya pergeseran yang akan menuju ke paradigma hukum responsif, yang bisa diduga akan dapat memenuhi tututan dan kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak untuk memperoleh pelayanan yang berkeadilan sosial. Pergeseran ini berseiring dengan pergeseran paradigma administrasi publik, menuju ke New Public Service Paradigm yang lebih partisipatif dan berkeadilan.
Pemerintah daerah seharusnya lebih peka dalam menyerap suara arus bawah. Harus ada upaya untuk lebih mendengarkan “dengan hati” atas keluhan aspiratif dari bawah. Bupati bisa lebih sering mendengar secara langsung uneg-uneg masyarakatnya, dan tidak mencukupkan diri hanya dengan laporan-laporan bawahan yang bersifat “Asal Bapak Senang”. Wallahu ‘alam bisshowab. []
Taufik Firmanto
Kader Angkatan Muda Muhammadiyah
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H