Mohon tunggu...
Taufik Firmanto
Taufik Firmanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kader Muda Muhammadiyah. \r\n\r\nAlumnus Magister Ilmu Hukum \r\nUniversitas Gadjah Mada Yogyakarta.\r\n\r\nSeorang Lelaki kampung (insya Allah tidak kampungan), berasal dari Bima, sebuah kabupaten terpencil namun strategis di Pulau Sumbawa NTB, yang terletak di belahan selatan bumi Nusantara, hampir tidak masuk peta karena tidak populer dan kurang komersil. \r\nAyah dari seorang Putera yang berharap si kecil kelak menjadi orang besar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tunduk, Merunduk, Bahkan Tiarap Ketika Berhadapan dengan Kekuatan Kapital Asing Refleksi Akhir Tahun Politik Ekonomi Pemerintah Indonesia

30 Desember 2010   09:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:12 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas memang terinspirasi oleh buku Mohammad Amin Rais; Agenda-agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia yang terbit tahun 2008. Tetapi kehadiran tulisan ini lebih kami fokuskan guna menyoroti politik pemerintah Indonesia dalam bidang ekonomi selama satu tahun terakhir ini. Setidaknya setelah kita melakukan refleksi atasnya, kita bisa menarik pointer sebagai bahan evaluasi guna mengawal langkah selanjutnya kita ke depan.

Telah kita mahfum bersama bahwa penyakit akut yang senantiasa mengiringi perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa adalah masalah keterbelakangan ekonomi. Adalah benar, telah lebih dari enam decade Negara kita merdeka, namun tak dapat dimungkiri bahwa hingga saat ini kita masih berkutat pada pelbagai permasalahan ekonomi mendasar yang tak kunjung terselesaikan, seperti kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan, dan infrastruktur dasar. Hal ini merupakan masalah utama bangsa Indonesia, “kemiskinan” dengan segala embel-embel yang menyertainya ini dianggap sebagai masalah bersama karena merupakan antithesis dari ”kesejahteraan” yang merupakan amanat nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan konstitusi Negara kita. Dalam hal ini, kesejahteraan yang kita angankan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Dalam konteks sesama Negara anggota ASEAN saja, kita masih harus merasa iri jika membandingkan diri dengan Negara jiran kita, Malaysia apalagi Singapura. Derap laju perekonomian serta kesejahteraan masyarakatnya membuat kita berdecak kagum, sementara itu, kita hanya mampu mengelus dada menyaksikan kesenjangan, (atau bahkan) keterpurukan ekonomi masyarakat kita.

Boleh saja pemerintah kita menepuk dada sembari menyatakan bahwa angka kemiskinan di negeri ini semakin menurun, angka pengangguran semakin mengecil, namun kita bisa menyaksikan secara vulgar bahwa keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan ekonomi sector riel pada skala kecil dan menengah sangatlah minim. Pemerintah lebih suka berkutat dengan pembangunan ekonomi di sektor finance yang sebenarnya kurang bisa diharapkan sebagai pemicu dan pemacu pergerakan ekonomi rakyat Indonesia.

Berkaitan dengan hal ini, salah satu hal yang bisa ditunjuk sebagai faktor yang turut memengaruhi kebijakan perekonomian Negara adalah ideology neoliberalisme yang membonceng wacana globalisasi. Sejak awal abad 20, wacana globalisasi ramai berdengung di atas kepala kita, menjadi bahasan yang sangat lumrah di warung-warung kopi, pasar, sekolah, hingga mall dan perkantoran. Kita menyaksikan bagaimana pasar lokal telah terintegrasi dengan pasar internasional. Sektor kebutuhan pokok dilawankan dengan pasar karena merupakan kebutuhan sosial yang tingkatnya lokal. Sedikit demi sedikit, kebutuhan pokok itu, seperti pangan berkembang menjadi kebutuhan masyarakat internasional dan dijual di pasar ekspor. Pada saat yang bersamaan perekonomian nasional ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri terhadap barang-barang kebutuhan pokok itu. Indikatornya adalah Indonesia hingga saat ini masih mengimpor bahan-bahan pangan yang pokok seperti beras, palawija, gula, garam, daging dan hortikultura. Padahal sektor pertanian secara teoritis mampu memenuhi kebutuhan pokok itu dan masih bergantung pada impor.

Murdijati Gardjito dan Ryan Salfarino dalam makalahnya “Ketahanan Pangan Dan Gizi Yang Berkedaulatan; Gerbang Kesejahteraan Bangsa”yangdisampaikan pada Seminar Nasional KAGAMA 17-18 Desember 2010 di UGM Yogyakarta, menyitir data impor yang sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap petani, peternak ataupun nelayan lokal. Impor 6 komoditi pangan tahun 2010:

Beras 324 juta dollar AS (Rp 3,24 triliun) (Detik, 04/12/2010)

Kedelai 595 juta dollar AS (Rp 5,95 triliun)

Gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun)

Gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun),

Daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun)

Susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun)

Total nilai impor 6 komoditi utama + komoditi minor =Rp. 55 triliun

Sikap pemerintah yang cenderung ramah terhadap pasar global dan terkesan tunduk terhadap kepentingan pemodal ini bisa sangat merugikan petani kita. Karena bukannya memroteksi hasil produksi pertanian dalam negeri dengan upaya subsidi terhadap petani, pemerintah malah membuka pasar impor untuk produk yang malah bisa “membunuh” petani kita. Ini tentu saja berbeda dengan Negara-negara maju yang memberikan subsidi yang begitu besar terhadap petaninya guna terus menjaga para petani dari kekejaman pasar bebas.

Hal lain yang menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah kita juga bisa kita lacak misalnya pada perbedaan sikap pemerintah kita terhadap kekuatan korporasi asing dibandingkan Negara-negara lain. Banyak Negara (di Timur Tengah) yang menjadi kaya karena minyak setelah pemerintahnya lebih berani untuk meminta bagian yang lebih layak dalam production-sharing dan profit-sharing ketika berhadapan dengan korporasi minyak dan pertambangan. Sementara Indonesia Nampak selalu tunduk, merunduk, bahkan tiarap berhadapan dengan korporasi asing. Bahkan Amin Rais menunjuk sikap pemerintah Indonesia ini sebagai kejahatan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, pemerintah telah melakukan State-Corporate Crime, yakni kejahatan korporasi yang dibiarkan bahkan difasilitasi oleh Negara.

Pada saat yang sama kita bisa melihat, berbagai permasalahan struktural lainnya kian menyeruak, seperti daya saing perekonomian yang kian tergerus, industri nasional yang lemah dan tidak mandiri, dominasi asing dalam penguasaan aset strategis bangsa, hingga lemahnya penguasaan sains dan teknologi. Dalam hal ini, kita hanya bisa mengelus dada seraya bertanya-tanya dengan penuh rasa heran, ketika kita dengan mata telanjang menyaksikan “perampokan” asset Negara oleh para pemilik modal. Mulai dari drama penguasaan dunia pertambangan, energy gas dan minyakbumi, yang dikuasai oleh pihak asing sepertiPT. Freeport, PT. Newmount, Exxon Mobil, privatisasi (obral murah) asset negara di bidang telekomunikasi, hingga yang terbaru skandal penjualan saham PT. Krakatau Steel, yang oleh beberapa tokoh diibaratkan sebagai “pembodohan” yang keterlauan terhadap wibawa bangsa.

Kita semua tahu bahwa ada yang berjalan tidak semestinya di negeri ini, ada ketimpangan yang mencengangkan nalar kita. Sulit untuk memahami secara waras, ketika kitamengetahui bahwa para pemodal asing diberikan hak guna usaha sampai 70, 80, dan 95 tahun. Tanah sebagai asset termahal, dapat diserahkan kepada pemilik modal (pihak asing) hingga mendekati satu abad. Demikian juga hutan-hutan kita juga sedang dan terus berpidah tangan kepada para pemodal asing untuk kurun waktu 75 tahun sampai satu abad, yang dalam bahasa Amin Rais sampai muncul istilah; Indonesia for sale..!

Solusi Alternantif

Telah kita sepakati bahwa bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki pijakan fundamental yang harus dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945, khususnya alinea ke-4. Pembukaan Konstitusi yang memuat butir-butir sila dalam Pancasila, menjadi pedoman yang jelas kehidupan berbangsa dan bernegara. Lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.

Meneguhkan apa yang tertulis dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, pasal 33 dengan sangat jelas memberi petunjuk bahwa pelaksanaan agenda ekonomi kerakyatan merupakan bagian utama dari cita-cita kemerdekaan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan strategi (i) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan; (ii) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (iii) bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Berpijak pada dasar hukum itu pula maka negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan aset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai amanat konstitusi (penjelasan Pasal 33) bahwa jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi kolonial di mana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing (kolonial).

Sektor industri pertambangan, energi minyak dan gas bumi sebagai salah satu sumber daya alam tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional pemanfaatan dan pengelolaannya diharapkan dapat dilakukan secara bijaksana dengan mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan penataan ruang, budaya masyarakat lokal.

Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa pemanfaatan berbagai sumber daya alam haruslah dilakukan dengan arif sehingga tujuan negara untuk menyejahterakan rakyatnya dapat tercapai. Namun sayangnya menurut hemat kami pemihakan dan perlindungan pada sektor ekonomi rakyat masih sangat minim. Ini mengindikasikan bahwa selama ini juga ada pemihakan dan perlindungan, sayangnya pemihakan tersebut ditujukan bagi kalangan ekonomi besar (konglomerat) dengan dukungan fasilitas dari birokrasi. Begitu pula perlindungan bagi mereka berupa berbagai proteksi dan tax holiday. ekonomi kerakyatan membutuhkan political will pemerintah berupa pemihakan dan perlindungan bagi jaminan terselenggaranya aktivitas secara berkesinambungan di seputarnya.[]

Yogyakarta, 30 Desember 2010

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum

UGM - Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun