Mohon tunggu...
Taufiiqul Hakim
Taufiiqul Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berproses

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

(Part I) Kehendak Bebas Tidak Benar-benar Ada: Perspektif Asy'ariyah dan Sam Harris

2 September 2022   19:23 Diperbarui: 5 September 2022   19:29 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Al-Asy'ari mendasarkan pendapatnya pada QS. al-Shaffat (37) : 96

Yang berarti, "Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat." Dengan ini jelaslah bahwa Tuhan menciptakan manusia sekaligus perbuatan-perbuatannya.

Pembicaraan mengenai al-kasb, secara lebih jelas dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari mengenai harkah al-idhthirar, yaitu gerakan tubuh yang tidak dapat dikendalikan seseorang (involunter). Dalam perbuatan involunter terdapat dua unsur, penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak. Penggerak yaitu pembuat gerak yang sebenarnya adalah Tuhan dan yang bergerak adalah manusia, bukan Tuhan. Tuhan bukanlah yang bergerak karena gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani (kebendaan) sedangkan Tuhan bukanlah wujud jasmani. Dalam hal ini, al-Asy'ari memandang al-kasb sama dengan perbuatan involunter, yakni bersifat paksaan dan di luar kekuasaan manusia.

Namun begitu, al-Asy'ari tidak begitu saja menyamakan secara identik antara keduanya. Dalam perbuatan involunter, manusia terpaksa melakukan sesuatu yang tak dapat dielakkannya sebagaimanapun dia berusaha. Sedangkan dalam al-kasb, paksaan demikian tidak ada. Gerak manusia mengetik laptop, misalnya, berbeda dengan gerak menggigil karena demam tinggi. Dalam gerak pertama terdapat daya yang diciptakan sedangkan yang kedua terdapat ketidakmampuan. Sehingga dalam hal pertama tidak dapat mutlak disebut paksaan namun disebut al-kasb. Namun begitu, keduanya adalah ciptaan Tuhan.

Dalam memahami kehendak Tuhan, al-Asy'ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin terjadi. Ia berdalil dengan QS. al-Insan (76): 30,

Artinya: "Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki". Al-Asy'ari menafsirkan bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. Kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan. Ketika penulis berkehendak menulis artikel di kompasiana, itu berarti Allah mengkehendaki penulis untuk menghendaki yang demikian. Tidaklah ada kehendak dalam diri manusia kecuali itu adalah kehendak Allah.

Mengenai daya (istitha'ah) dipahami sebagai sesuatu yang lain dari diri manusia. Dalam al-Luma' Bab al-Kalam fi al-Istitha'ah, al-Asy'ari mengatakan bahwa hal itu dikarenakan manusia terkadang kuasa (mustathi') terkadang lemah ('ajiz). Jika merujuk kepada The Ordinary Language Philosophy-nya Gilbert Ryle (1900-1976) maka mustathi' (orang yang memiliki kuasa) digunakan sebagai dispositional statements, yakni pernyataan yang menunjuk pada sifat atau kebiasaan yang harus dibedakan dari pernyataan yang merujuk suatu peristiwa tertentu yang tidak menjadi kebiasaan yang melekat pada dirinya. Contoh, "Taufiq adalah seorang perokok" harus dibedakan dari "Taufiq sedang merokok". Pernyataan pertama bermakna bahwa Taufiq adalah orang yang biasa merokok sehingga dia dicap sebagai perokok dan bukan berarti Taufik sekarang sedang merokok. Sedangkan pernyataan kedua bermakna bahwa Taufiq sekarang sedang merokok bukan berarti Taufiq memiliki kebiasaan merokok.

Dengan begitu dapatlah dipahami bahwa manusia tidaklah dapat disebut sebagai mustathi' (pemilik daya kuasa) karena ia terkadang lemah, dan terkadang berdaya. Sehingga dipahami bahwa istitha'ah adalah sesuatu yang tidak melekat dan di luar diri manusia.

Daya ini pun tidak terwujud sebelum adanya perbuatan tetapi bersamaan dengan adanya perbuatan, dan daya itu hanya untuk perbuatan yang bersangkutan saja. Argumen al-Asy'ari adalah orang yang tidak diciptakan dalam dirinya daya, tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan begitu daya untuk berbuat adalah daya Tuhan bukan daya manusia.

Hal inilah yang membedakan Asy'ariyah dengan Mu'tazilah. Menurut Mu'tazilah, Tuhan menciptakan daya pada diri manusia yang dengan daya itu manusia dapat melakukan perbuatan. Dan daya ini ada sebelum adanya perbuatan. Dengan begitu daya Tuhan tidaklah memiliki bagian dalam perwujudan perbuatan manusia. Maka manusia adalah pencipta (khaliq) perbuatannya sendiri.

Al-Ghazali (1058-1111 M), pembesar Asy'ariyah, menentang pendapat Mu'tazilah ini karena menurutnya tidak sesuai dengan konsensus ulama (ijma') bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah. terkait ijma' ini, juga disebutkan dalam al-Ibanah karya al-Asy'ari yang telah diberi penjelasan oleh Dr. Shalih bin Muqabbil al-'Ashimi al-Tamimi bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah percaya bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu dan perbuatan-perbuatan hamba termasuk di dalamnya. Al-Asy'ari juga menilai ungkapan Mu'tazilah menandakan mereka tidak lagi berhajat pada Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun