Secara faktual, komposisi pengguna media sosial di negeri ini pasti dari kalangan ini. Bisa diamati, misalnya, begitu total waktu mereka untuk online di media sosial, tak kenal pagi, siang, dan malam. Artinya, mereka tak punya aktivitas yang penting dan bermanfaat, selain curhat. Ciri lain, mereka tak hirau dengan asas-asas berkomunikasi, misalnya kesopanan dan tanggng jawab sosial, mereka bahkan tak segan mencaci maki, mengolok-olok, dan melakukan kekerasan verbal lainnya (misalnya gambar-gambar menghina, atau bernuansa kekejaman). Contoh lain, adalah banyak dari kalangan ini yang tak risau menjaga hubungan dan nama baik, karena memang mereka bukan siapa-siapa. Andai saja pengguna media sosial adalah orang yang berkepentingan menjaga martabat diri, maka tak mungkin mereka memposting isi media sosial yang sembrono.
Satu catatan: baik golongan atas, menangah, atau bahwah, dalam kategori pengguna media sosial, mungkin saja melakukan kesalahan dan kekeliruan (dalam aktivitas media sosial). Hanya satu yang membedakan: golongan bawah, melakukan itu sebagai menu harian, sementara golongan lain, bisa jadi karena kecelakaan, misalnya saat sedang marah, tersinggung, atau lepas kontrol.
Lanskap pengguna media sosial seperti ini yang membuat lalu lintas dan frekuensi isu di media sosial selalu rumit. Karena perangkat hukum mudah dilanggar. Etika digembosi. Dan sopan santun digampangkan.
Selalu saja muncul peristiwa yang terkesan liar, barbar, dan tak beradab. Korbannya, seperti yang kerap kita temui, adalah orang-orang yang tergolong tokoh publik. Masalahnya: para tokoh ini pun adalah manusia biasa, yang butuh privasi, kehortamatan diri, dan nama baik. Kebebasan media sosial, harus tetap menghormati hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H