[caption id="attachment_372649" align="aligncenter" width="600" caption="Amien Rais/Kompas.com"][/caption]
Polisi hingga saat ini masih melakukan pendalaman atas aksi penembakan terhadap mobil pribadi Amien Rais. Kita harus menghormati proses hukum seraya mempercayakan kepada aparat kepolisisan untuk bekerja. Meski begitu, dari fakta-fakta yang tersedia, tersirat motif kekerasan simbolik terhadap tokoh reformasi ini.
Senyatanya, bukan hanya Pak Amien yang mengalami serangan serupa. Nyaris semua tokoh publik kudu menadah pelbagai aksi agresif, mulai yang bersifat lunak, terbuka, hingga yang berbentuk teror psikologis ---terutama via media maya.
Jadi cukup fair bila mengangkat peristiwa di rumah Pak Amien ini sebagai pintu masuk untuk menganalisis rupa-rupa kekerasan simbolik yang marak belakangan. Paling tidak ada empat latar situasi yang memungkinkan berlahirannya tindakan-tindakan tak patut itu.
Pertama, kini situasi sosial politik tengah berada dalam turbulensi tinggi. Kerap terjadi guncangan politik, tetapi kemudian disela oleh penurunan tensi, dan untuk kemudian naik kembali. Jika dirunut ke belakang, maka kompetisi politik yang sengit berawal dari agenda Pemilu Legislatif, lalu Pemilihan Presiden, dan Konflik di parlemen.
Kedua, memang ada ketegangan terbuka yang diperagakan oleh berbagai pihak. Perang kata-kata, saling hujat, saling sindir, olok-olok, dan bahkan provokasi. Para pelakunya tak hanya elit politik, tetapi juga massa rakyat, yang mengekspresikan sikap melalui berbagai sarana media komunikasi.
Ketiga, terjadi perbedaan opini yang sangat tajam, yang nyaris "membelah" bangsa ini dalam dua kutub pemihakan. Pembelahan ini tak semata-mata sebagai debat wacana biasa, melainkan benar-benar membentuk opini militan, antara dua kutub yang pernah berseteru. Syukur Alhamdulillah, kontroversi sengit itu sudah agak melunak, terutama setelah pertemuan mengharukan antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo (dan kemudian para elit nasional lainnya).
Keempat, menyangkut psikologi massa yang seolah sudah terbiasa dengan aksi-aksi vulgar meski dilakukan dengan sangat telanjang. Saking seringnya tindakan provokasi terbuka, publik kemudian menjadi terbiasa.
Empat faktor ini menjadi jalan mulus untuk siapa saja yang memendam kebencian untuk meluapkan emosinya ke sana ke mari. Mereka, para pelaku, seolah-olah merasa berhak untuk melakukan apa saja, dengan keyakinan bahwa orang lain pun sudah melakukan hal yang sama. Boleh jadi, apa yang misalnya dilakukan oleh FPI terhadap Ahok, MA terhadap Pak Jokowi, dan Akun Trio Macan terhadap para pejabat.
Jika seperti itu, lalu apakah penembakan terhadap mobil Pak Amien bisa kita biarkan begitu saja?
Sekali lagi, penembakan itu tak muncul sendirian, dan berada dalam rangkaian modus yang sama, hanya berbeda dari tingkat skala. Ada yang sangat vulgar, telanjang, melukai secara fisik, atau sekedar olok-olok simbolik. Akan tetapi, daya rusak psikologisnya sama...