Perkembangan suatu peradaban dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah agama. Di kemudian hari manusia mengenal ragam jenis agama serta klaim-klaim kebenarannya masing-masing. Tiap agama pun membuka jalan keselamatan bagi pengikutnya, utamanya dalam hal-hal yang bersifat eskatologis.
Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia selanjutnya akan memasuki wilayah antropologis dan sosiologis yang multi tafsir. Hal tersebut berdampak pada tingkat kebenaran dari agama menjadi relatif. Bercampurnya hal-hal yang bersifat sakral dan profan senantiasa berdampak pada kekeliruan dan cara pandang manusia terhadap agama. Oleh sebab itu, mempercayai suatu agama dan menjalankan segala ajarannya memerlukan penelaahan mendalam. Semua ajaran agama harus melalui proses penelaahan agar mendapatkan objektifitas yang memiliki kebenaran yang layak untuk diyakini dan dipraktikan.
Saat ini, terdapat dua sikap yang ditampilkan dalam memperlakukan agama, yang kedua-duanya justru membahayakan bagi agama itu sendiri. Sebagian menganggap agama tidak lagi relevan dengan rasionalitas zaman-karena apa yang ditawarkan agama sudah dapat dipenuhi oleh modernitas. Sebaliknya, sebagian yang lain menjalankan agama dengan fanatisme berlebihan hingga agama menjelma menjadi doktrin yang dibarengi sikap kaku terhadap berbagai perubahan dunia, keras terhadap kehadiran (paham) orang lain, dan cenderung tertutup.
Misalnya saja kelompok yang menganggap bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Islam sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman saat ini. Mereka mendasarkan dalilnya kepada paham-paham filsafat barat yang pada dasarnya merupakan hasil sekulerisasi dari paham gereja. Maka yang adalah kesetisasi, di mana Islam menjadi keset untuk mengakomodir wacana-wacana barat.Â
Sementara itu, di sisi lain timbul kelompok-kelompok yang begitu fanatik dalam menjalankan keberislamannya. Konsep kebenaran sudah terhenti, seolah kebenaran yang hakiki hanya bersumber dari kelompoknya dan memandang paham lain itu bertentangan dengan Islam, mudah untuk mem-bid'ah-kan orang lain.
Melihat kondisi tersebut, rasanya buku yang ditulis Komaruddin Hidayat yang berjudul Iman Yang Menyejarah ini cukup relevan untuk menjadi bahan perenungan. Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama, mencoba mengemukakan ihwal manusia. Mas komar mencoba menelusuri kehadiran manusia di muka bumi. manusia hadir di muka bumi dalam situasi terlempar. Dalam arti, manusia tidak pernah memilih untuk dilahirkan dan harus menerima dengan serta-merta kelahirannya. Akibatnya, hidup manusia diliputi keingin tahuan serta ketakutan terhadap dirinya sendiri.Â
Manusia dalam keterlemparannya di muka bumi tidak mendarat dalam ruang hampa. Dalam keterlemparannya ia senantiasa disambut oleh tradisi orang tua, keluarga dan lingkungannya. Sehingga, dalam perjalannnannya, tradisi tersebut yang akan membentuk persepsi, cara berpikir, dan berprilaku. Hal tersebut dijabarkan dalam bab dua.
Dalam keterlemparan tersebut, manusia tidak hanya terdiri atas jasad, akan tetapi ia dibekali dengan akal-budi dimana dengan itu ia akan mengalami proses penafsiran-penafsiran terhadap segala sesuatu yang ditemuinya dimuka bumi. Penafsiran yang dilakukan tentunya bertahap, mulai penafsiran terhadap hal-hal trivial lalu berkembang terhadap penafsiran alam semesta dan bahkan pencipta alam semesta. Dengan begitu, manusia pada hakikatnya merupakan mahkluk penafsir seperti yang dijelaskan Mas Komar dalam bab tiga.
Keterlemparan manusia ke dunia membuatnya mengalami amnesia eksistensial, yaitu suatu keadaan dimana manusia tidak mengetahui atas keimanan yang pernah diikrarkan di alam ruh QS. Al-A'raf [7]:172. Untuk itu,Allah Swt mengutus para nabi untuk mengingatkan manusia terhadap apa yang pernah mereka ikrarkan. Untuk itu, dalam Islam tidak dikenal adanya pembagian antara hal-hal yang sakral dan profan. Semua yang ada merupakan tanda dan jejak keberadaan Tuhan. Spiritualitas, sains, pranata sosial dan demografi merupakan pilar dalam membangun peradaban. Semua hal tersebut dikupas lebih jauh dalam bab empat ihwal agama, spiritualitas dan peradaban.
Ketika berbicara terkait Iman maka tidak hanya merujuk pada sumber agama dan spiritualitas. Iman juga meninggalkan dan mengukir jejak sejarah. Iman memiliki dampak terhadap kepribadian seseorang dan juga berdampak pada unit budaya. Karena iman meninggalkan jejak sejarah terhadap unit budaya maka dalam perkembangannya kita menemukan suatu kombinasi antara kebudayaan yang ada dalam suatu unit budaya dengan doktrin agama yang berkembang. Praktik keagamaan, tempat-tempat peribadatan adalah contoh dimana kebudayaan menjadi salah satu faktor dalam perkembangan agama. Namun, adakalanya manusia sulit membedakaan mana yang termasuk doktrin keagamaan dan mana yang kebudayaan. Mas Komar mencoba untuk menguraikannya pada bab lima tentang jejak-jejak iman.
Dalam sejarah, abad pertengahan merupakan periode dimana nilai-nilai keagamaan diyakini sebagai pengendali jalannya kehidupan serta penjaga keseimbangan kosmik. Seiring berjalannya waktu, keyakinan seperti itu cenderung menurun, bahkan ada yang berkesimpulan bahwa agama dan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi keberadaannya karena kemajuan sains dan teknologi sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan riil manusia. Namun, dalam kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Hingga abad ke-21 agama dan Tuhan tetap hidup di tengah masyarakat. namun, kehadiran agama yang semarak di ruang publik  bisa menimbulkan kebanggaan juga kekhawatiran. Lantas apa yang patut di banggakan dan dikhawatirkan dari semaraknya agama di ruang publik? Mari kita menelaah lebih jauh gagasan Mas Komar dalam bab enam buku ini.