Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lebih Memilih Untuk Menjadi Orang yang Beruntung

17 Maret 2022   15:56 Diperbarui: 17 Maret 2022   16:49 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah permainan, kita pasti sering mendengarkan istilah "sing iso ngalahke wong pinter mung wong sing bejo (yang bisa mengalahkan orang pintar hanyalah orang yang beruntung)". Hal ini mungkin seringkali kita alami sewaktu kita masih anak-anak dan sering bermain bersama. Selincah dan segesit apapun teman kita, ada satu waktu saat ia akan merasakan kekalahan dengan orang yang nampak biasa-biasa saja.

Kalau probabilitas kemenangan diukur dengan suatu keahlian yang diasah sebagai bekal untuk memasuki permainan, ada 2 perbedaan yang masih perlu diperhatikan, apakah itu sebuah bakat atau karena latihan/kerja keras yang dilakukan secara berulang? Si Anak yang lincah dan gesit itu mungkin sudah berpikir bahwa dirinya perlu memperbesar kemungkinan untuk menang dan memperoleh keberuntungan, meskipun tak selamanya persiapan dan renananya berjalan lancar. Hingga sekali-kali ia pun akan merasakan arti suatu kekalahan.

Apa artinya kemenangan tanpa adanya kekalahan? Apakah kita bisa menemukan keberuntungan tanpa bertemu terlebih dahulu dengan yang namanya kesialan?

Ada suatu kalimat dari seorang juara catur dunia yang tidak percaya bahwa keberuntungan adalah sebuah kebetulan. Menurutnya, keberuntungan itu merupakan suatu hasil atas banyak persiapan yang melelahkan dari banyak waktu yang telah dihabiskan untuk menyempurnakan suatu pekerjaan. Dan yang pasti dari seorang diri yang bersedia untuk bekerja lebih keras. Oleh karenanya, dia berpikir bahwa keberuntungan bukanlah suatu kebetulan.

Kita bisa memperhatikan sewaktu anak-anak, kalau kemenangan orang yang tidak pintar dianggap suatu keberuntungan. Lalu, apakah kita pikir kemenangan orang yang pintar lantas bukanlah suatu keberuntungan? Suatu tim papan bahwah ketika bertemu tim papan atas suatu liga, apabila dia bisa memenangkan sebuah pertandingan, apakah itu sebuah keberuntungan? Atau memang ada persiapan dan strategi yang telah banyak dipersiapkan sebelumnya. Atau kita selama ini hanya banyak mendengarkan asumsi orang dan percaya dengan mayoritas pendapat.

Atau jangan-jangan keberuntungan merupakan asumsi orang yang tidak pernah mau mencoba, yang hanya bisa menikmati suatu keadaan dari suatu jarak tertentu, yang tidak mau menanggung resiko dan konsekuensi atas suatu upaya-upaya yang banyak dilihatnya. Dan tidak ada yang bisa memastikan suatu hasil, kecuali hanya sebatas meyakini apa yang telah direncanakan dan dipersiapkan. Dan kita mesti siap dengan segala pertarungan terhadap diri yang akan ditemui jika akhirnya kesialanlah yang kita dapati.

Dalam konteks spiritual, ada istikharah yang berarti berserah diri. Dan berserah diri itu bukan berarti kita tidak melakukan apa-apa, bukan? Setidak-tidaknya ada grade atau kualifikasi dalam berserah diri, dari yang tidak melakukan apa-apa, namun banyak berpikir. Atau sebaliknya, sedikit berpikir, tapi banyak melakukan aktualisasi diri. Tapi kalaupun bisa diupayakan, tidakkah lebih baik jika masing-masing dari diri kita mampu memaksimalkan daya pikir dan daya aktualisasi dalam berserah diri?

Seorang pasangan yang dipertemukan dan menjadi jodoh pun bukan berarti di antara mereka tidak melakukan upaya pencarian untuk menemukan kekasihnya. Pasti banyak dinamika hati yang membahagiakan ataupun yang menggelisahkan selama pencarian itu. Hingga keadaan itu secara tidak sadar menjadi tempaan atau latihan tersendiri untuk meningkatkan kualitas diri hingga akhirnya dipantaskan dengan pujaan hatinya.

Oleh karena itu, keberuntungan bukan hanya masalah kemenangan, apalagi menyangkut harta, kekuasaan, bahkan pasangan. Terlebih dalam agama, sungguh beruntunglah mereka orang-orang yang diberi keimanan. Sebab, mau bagaimanapun juga, iman itu juga datang oleh karena-Nya, bukan karena upaya diri. Dan kita hanya bisa meyakini atau meneguhkan niat, bukan memastikan tercapainya suatu tujuan. Kecuali jika nantinya yang dipertemukan hanyalah suatu kekecewaan dan kekhilafan, apabila diri berlebihan.

Lalu, manakah yang akan engkau pilih antara mendapati kemenangan atau cukup menjadi orang yang beruntung?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun