Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potensi Kewalian dan Kebiasaan Nge-"Cheat" Melalui Orang Dalam

7 Januari 2022   15:57 Diperbarui: 7 Januari 2022   16:23 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/road-trip-with-raj

Tak sedikit orang-orang yang kagum dengan aksi-aksi heroik, yang kadang tidak bisa di nalar keahliannya. Kita bisa lihat tokoh-tokoh yang Marvel ciptakan yang selalu sanggup menarik banyak atensi untuk menonton di bioskop, bahkan tak sedikit juga yang merasa sayang jika tidak menyempatkan diri untuk menontonnya.

Seperti biasa, kegandrungan yang viral itu sampai kepada trio serangkai yang hidup di pelosok pedesaan dan tak luput dari obrolan polos yang identik dengan ke-kudet-an dan ketidaktahuan. Tapi, dengan kemajuan teknologi setidaknya sedikit memangkas jarak laju informasi yang memungkinkan mereka "sedikt mengetahui" dari sekian banyak yang tidak diketahui.

"Kenapa film-film dengan alur cerita yang heroik atau superhero selalu banyak memiliki fans yaa?" Rahmat bertanya kepada kedua temannya.

"Memang di antara kita tidak memiliki ketertarikan seperti itu? Sekarang aku tanya, apa bedanya para tokoh superhero itu dengan para wali? Sedangkan mereka memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi dan selalu berpihak pada kebaikan. Toh, mereka juga memiliki sifat seperti wali, yakni tidak memiliki rasa takut ataupun rasa sedih." Bewol mengaitkannya dengan keadaan lingkungan sekitar yang juga mengagumi kisah-kisah para wali.

Gus Welly sontak menjawab, "Jelas beda dong, para wali yang dimaksud kan jelas para kekasih Allah, sedangkan mereka hanyalah tokoh sandiwara buatan manusia yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai pahlawan."

"Berarti kamu juga wali dong, Gus? Bukannya yang bisa mengenali para wali tak lain merupakan seorang wali juga?" canda Rahmat. "Eh iya, ternyata hampir sama juga mereka dengan wali. Bukannya kita juga hanya sebatas tokoh buatan dari Yang Maha? Sedangkan tokoh-tokoh di film itu juga representasi dari buah pemikiran si penulis yang menciptakannya?" lanjutnya.

"Gus, di zaman teknologi seperti ini. Adakah kita akan menemui kesulitan untuk menemukan jarum di tumpukan jerami? Terlebih jika yang dimaksud wali mengarah ke suatu subjek, tidakkah seharusnya dia lantas banyak dikenal dengan kesaktiannya? Terus bisa banyak menolong bangsa yang mungkin sedang banyak pesakitan ini." tanya Bewol kepada Gus Welly.

"Dia kan orang-orang pilihan. Yang tidak sembarang orang menjadi yang terpilih. Apalagi dengan sifat-sifat seperti kita ini." terang Gus Welly.

"Nahh, itu maksud saya!" Bewol tiba-tiba memotong. "Dengan sifat-sifat tertentu, yang mana ada kualifikasi atau syarat yang harus dimiliki seseorang.  Artinya, yang susah bukan menemukan orangnya, melainkan menemukan sifat yang akan menuntun orang pada maqom wali."

"Oh iya, saya jadi ingat. Dulu kita pernah mendapat wejangan dari Syekh, bahwasanya wali itu merupakan maqom yang mana setiap orang memiliki potensi kewaliannya masing-masing. Tidak dimonopoli oleh kaum atau golongan tertentu saja."

"Setuju, 'yang terpilih' pun juga mesti ada sesuatu hal sehingga membuatnya menjadi pantas untuk dipilih. Dan frekuensi untuk mendapati karomah memang tidak sembarang orang kompatibel untuk dapat menerima sinyalnya, kecuali sedang berada pada puncak-puncak maqom tertentu."

Obrolan itu nampaknya semakin menarik bagi mereka. Bagaimana tidak? Ketika pertemuan dua budaya yang memiliki tokoh-tokoh pujaan atau panutan, yang jelas berbeda kutub. Tapi, mereka bertiga bicarakan dengan asyik untuk mencari persamaan yang mungkin saja bisa menjadi bekal pemahaman mereka di waktu yang akan datang.

"Maqom itu memang bisa diupayakan, tapi keadaan itu bersifat dinamis, naik-turun, bisa datang dan pergi kapanpun. Dan jarum yang sulit ditemukan adalah sifat-sifat dengan frekuensi kewalian yang sulit untuk diidentifikasi."

"Gus, kamu kok daritadi hanya diam?" tanya Bewol.

"Ada aja yang bisa kalian berdua kaitkan. Sampai bisa-bisanya mengintervensi jabatan wali. Tidak ikut-ikutan aku pokoke. Tapi saya setuju kalau mengarah ke sifat, kadang Mbah Paijo itu sangat sakti, besoknya lagi Mbah Sartijem yang bertutur seperti wali. Bahkan, dek Ali juga pernah saya melihat dia memiliki keistimewaan tidak seperti orang pada umumnya." jawab Gus Welly.

"Dan kita kurang tepat kalau wali diarahkan kepada subjek-subjek tertentu. Bisa kejebak stigma pemikiran kita dan justru mengagungkan secara berlebihan terhadap orang tersebut melebihi kepada Kanjeng Nabi." Bewol menegaskan.

"Ah, kita hanya beda lingkungan. Jika orang barat betul-betul berharap kepada orang pintar secara sains. Kita disini juga memiliki kebiasaan berharap akan berkah barokah orang-orang 'pintar' secara spiritual. Dengan kata lain, kalau dalam permainan kita memiliki kebiasaan nge-cheat kepada orang dalam (tertentu) daripada mengandalkan kejujuran pada kemampuan diri sendiri dan bertanggung jawab atasnya." pungkas Rahmat.

"Mat, ngawur kamu! Tapi, saya setuju denganmu. Ternyata, banyak dari kita tidak memiliki kemandirian untuk jujur menyembah kepadaNya. Seolah-olah berprasangka bahwa Tuhan dan kekasihNya hanya dekat dengan orang-orang tertentu. Padahal, kesempatan hidup kita kesana-kemari secara tidak langsung karena telah dipercayai amanah sebagai wali bagi bumi. Tapi, kitanya saja yang sering tidak sadar diri." tambah Bewol.

"Berarti kita berdua wali, kecuali satu yang sudah mentok dengan julukan, Gus!"

Mereka bertga pun menyudahi malam itu dengan tawa. Dan Gus Welly pun yang notabene lebih mengetahui secara ilmu spiritual karena banyak waktu ia habiskan dalam lingkuan pondok, lebih memilih sikap untuk diam. Hanya untuk memberi kebahagiaan atas cahaya semburat yang menyapa mereka bertiga pada malam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun