"Setuju, 'yang terpilih' pun juga mesti ada sesuatu hal sehingga membuatnya menjadi pantas untuk dipilih. Dan frekuensi untuk mendapati karomah memang tidak sembarang orang kompatibel untuk dapat menerima sinyalnya, kecuali sedang berada pada puncak-puncak maqom tertentu."
Obrolan itu nampaknya semakin menarik bagi mereka. Bagaimana tidak? Ketika pertemuan dua budaya yang memiliki tokoh-tokoh pujaan atau panutan, yang jelas berbeda kutub. Tapi, mereka bertiga bicarakan dengan asyik untuk mencari persamaan yang mungkin saja bisa menjadi bekal pemahaman mereka di waktu yang akan datang.
"Maqom itu memang bisa diupayakan, tapi keadaan itu bersifat dinamis, naik-turun, bisa datang dan pergi kapanpun. Dan jarum yang sulit ditemukan adalah sifat-sifat dengan frekuensi kewalian yang sulit untuk diidentifikasi."
"Gus, kamu kok daritadi hanya diam?" tanya Bewol.
"Ada aja yang bisa kalian berdua kaitkan. Sampai bisa-bisanya mengintervensi jabatan wali. Tidak ikut-ikutan aku pokoke. Tapi saya setuju kalau mengarah ke sifat, kadang Mbah Paijo itu sangat sakti, besoknya lagi Mbah Sartijem yang bertutur seperti wali. Bahkan, dek Ali juga pernah saya melihat dia memiliki keistimewaan tidak seperti orang pada umumnya." jawab Gus Welly.
"Dan kita kurang tepat kalau wali diarahkan kepada subjek-subjek tertentu. Bisa kejebak stigma pemikiran kita dan justru mengagungkan secara berlebihan terhadap orang tersebut melebihi kepada Kanjeng Nabi." Bewol menegaskan.
"Ah, kita hanya beda lingkungan. Jika orang barat betul-betul berharap kepada orang pintar secara sains. Kita disini juga memiliki kebiasaan berharap akan berkah barokah orang-orang 'pintar' secara spiritual. Dengan kata lain, kalau dalam permainan kita memiliki kebiasaan nge-cheat kepada orang dalam (tertentu) daripada mengandalkan kejujuran pada kemampuan diri sendiri dan bertanggung jawab atasnya." pungkas Rahmat.
"Mat, ngawur kamu! Tapi, saya setuju denganmu. Ternyata, banyak dari kita tidak memiliki kemandirian untuk jujur menyembah kepadaNya. Seolah-olah berprasangka bahwa Tuhan dan kekasihNya hanya dekat dengan orang-orang tertentu. Padahal, kesempatan hidup kita kesana-kemari secara tidak langsung karena telah dipercayai amanah sebagai wali bagi bumi. Tapi, kitanya saja yang sering tidak sadar diri." tambah Bewol.
"Berarti kita berdua wali, kecuali satu yang sudah mentok dengan julukan, Gus!"
Mereka bertga pun menyudahi malam itu dengan tawa. Dan Gus Welly pun yang notabene lebih mengetahui secara ilmu spiritual karena banyak waktu ia habiskan dalam lingkuan pondok, lebih memilih sikap untuk diam. Hanya untuk memberi kebahagiaan atas cahaya semburat yang menyapa mereka bertiga pada malam itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H