Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Upaya Menjadikan Bangsa Indonesia Menjadi Pemain Kunci di Panggung Dunia

9 Desember 2021   15:54 Diperbarui: 9 Desember 2021   15:58 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak hal yang segar dan menarik dari pebincangan/diskusi antara Mas Sabrang dan Mas Gita Wirjawan yang ditayangkan di kanal youtube #endgame dengan judul "Keadilan (Token) Sosial Bagi Seluruh Talenta". Terutama bagi ruang kolektif yang sedang melakukan gerak innovasi dan kreasi, diskusi berdurasi sekitar 90 menit ini setidaknya mampu memberikan efek terhadap design ataupun roadmap yang sedang diperjuangkan bersama.

Dan pada durasi tersebut, 3 hal yang paling saya ingat adalah mengenai cara belajar efektif. Yang mana hasilnya bisa kita cermati bersama, apakah seorang intelek itu hanya sebatas pengumpul informasi/data ataukah ia adalah seorang yang memiliki kebiasaan untuk memproses segala informasi atau data yang didapat? Tentu saja ada perbedaan laju di antara dua tipe tersebut dalam hal-hal tertentu, terlebih dengan laju perkembangan teknologi yang semakin cepat.

Berikutnya adalah mengenai proses demokrasi. Untuk menentukan seoran pemimpin di wilayah sebesar Indonesia tentu akan banyak menimbulkan bias. Demokrasi bisa dilaksanakan secara optimal dan maksimal ketika diaplikasikan di wilayah seluas Switzerland, yang notabene masih luas wilayahnya masih lebih kecil dari wilayah Provinsi Jawa Barat.

Kredibilitas seseorang tidak bisa diukur dengan banyaknya baliho yang terpampang di jalanan. Akan tetapi menurut Mas Sabrang harus ada suatu space/platform/ruang apapun saja yang mana orang akan dengan mudah mencari data-data yang dibutuhkan untuk mengukur tingkat kredibilitas tersebut. Selain itu, untuk menentukan seorang pemimpin diperlukan mental tertentu sehingga nantinya tidak asal pilih. Apabila situasi tersebut berjalan, kita sangat bisa memangkas biaya "pesta demokrasi" yang subjektif saya sangat tidak masuk akal, apalagi jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang sudah dirasakan perubahannya.

Membangun Model Mental yang Kokoh

 Yang ketiga adalah breakdown terkait sebuah "peristiwa", yang mana peristiwa sendiri terjjadi dari sebuah "pola". Pola terbentuk dari suatu bangunan "structure", bisa dari cara pandang atau cara berpikir. Dan struktur sendiri adalah akibat dari suatu "mental mode" atau asumsi yang dimiliki atau sedang diyakini oleh masing-masing individu ataupun perkumpulan/society.

Model mental untuk pribadi biarlah masing-masing dari kita menentukannya sendiri, akan tetapi bagi sebuah perkumpulan harus disepakati bersama model mental seperti apa yang cocok? Yang paling compatible dan suistanable terhadap visi ataupun misi bersama. Hal ini penting, karena ini akan menjadi dasar pondasi yang akan banyak menopang beban-beban perjuangan ataupun  pengorbanan yang lebih besar.

Menurut subjektif saya pribadi, baik model mental, struktur, pola, ataupun peristiwa merupakan suatu wilayah perjuangan, yang mana di masing-masing wilayahnya juga memiliki sifat yang selaras dengan 4 sifat keutamaan Kanjeng Nabi. Wilayah model mental membutuhhkan shiddiq atau kesungguhan. Wilayah struktur harus bersifat amanah atau dapat dipercaya, sebab cara pandang ataupun cara berpikir akan berjalan lebih optimal ketika terbangun kepercayaan antara hati dan perilaku yang mesti selaras.

Wilayah pola membutuhkan sifat tabligh, menyampaikan segala sesuatunya secara terbuka atau gamblang hingga nantinya di wilayah peristiwa yang terjadi akan menjadi indikasi gambaran terkait sifat fathonah atau kecerdasan yang dibangun bersama.

Dalam sebuah tim sepokbala profesional yang notabene setiap hari melakukan latihan untuk meningkatkan skill individu atau kerjasama, masih tetap tidak bisa memastikan kemenangan dalam setiap pertandingan ketika diadu dalam sebuah kompetisi. Dan saya meyakini hampir di semua wilayah society memiliki garis merah yang sama terhadap tim sepakbola.

Meskipun kita sepakat bahwa hidup ini bukanlah suatu kompetisi, kecuali dalam hal melakukan kebaikan. Tapi untuk mencapai kelas "elite" ataupun "expert", dibutuhkan bangunan model mental yang dirasa cukup kokoh untuk menopang keberlangsungan sistem. Harus ada latihan rutin, selain untuk mengasah skill, latihan juga untuk mempermudah pelatih untuk memilih pemain utama. Siapa yang tidak bisa mengikuti alur kedisiplinan, meski siap menanggung konsekuensi menjadi pemain cadangan atau bahkan mungkin diputus kontraknya.

Mas Sabrang pada waktu itu menyampaikan bahwa Indonesia sebisa mungkin tidak larut dalam kompetisi yang sengaja dibangun untuk menunjukkan siapa yang paling sejahtera atau siapa yang paling hebat dalam panggung dunia. Tapi, Indonesia memiliki resources atau sumber daya potensi yang sangat melimpah untuk suatu saat menjadi key player atau pemain kunci dalam laju perubahan di panggung dunia ini.

Kita kembali sebelum memasuki kompleksitas ranah sosial, pernahkah sekali saja kita berpikir, andaikata pada zaman dahulu perjuangan itu identik dengan tawaran ongkos "berdarah-darah", maka kira-kira ongkos perjuangan seperti apa yang bisa kita tawarkan? Atau kita secara tidak sadar memilih terjebak pada kebenaran hasil olah pikir kita masing-masing?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun