Adakah bangunan itu akan nampak begitu megah tanpa struktur pondasi yang kuat? Ataukah ada pohon itu dapat menjulang tinggi menggapai langit tanpa akar yang kokoh? Mayoritas dari kita meyakini dan menyepakati bahwa umumnya kita selalu dibuat kagum oleh hal-hal yang eksis, baik karena keindahannya, kemegahannya, atau hal lain yang seketika langsug memikat.
Dari sekian hal yang eksis tersebut, tidakkah kita juga semestinya berpikir, mengapa yang selalu diperdebatkan hanyalah hal-hal yang eksis? Bukankah hal yang tidak eksis pun memiliki pengharapan untuk muncul dalam semesta yang eksis? Karena kita tidak mungkin bisa menefikkannya, layaknya ketika kita membutuh bangunan yang megah dan indah, pasti ada kalanya kita akan mempelajari pondasi sekalipun pada akhirnya ia tak nampak.
Kalaupun keberadaan menampung ketiadaan, begitu pula sebaliknya dengan ketiadaan, akan terkandung pula keberadaan. Hal itu nampak seperti buah dari makna-makna yang banyak terpantik dati sebuah ketiadaan yang bermanifestasi menjadi kata-kata. Kita akan sulit mencari, menemukan, bahkan membuktikan, kecuali hanya sebatas meyakininya.
Tidak ada persaingan antara kedua belah pihak yang berseberangan, kecuali pada akhirnya hanya saling menguatkan. Karena semua itu bermuara pada satu ujung yang sama, atau dengan kata lain hanya bersumber dari satu pencipta. Tidak mungkin kita mengenal angka 2 tanpa adanya 1 sebelumnya. Dan apabila dari masing-masing memiliki pengharapan yang sama, haruskah rasa malu itu mencuat sebab pengabulannya memiliki arti peniadaan bagi yang lain?
Setiap orang mengaku berebut kebaikan, padahal kebanyakan dari mereka hanya mempertahankan kenyamanan diri mereka sendiri. Kebaikan hanya mengarahkan diri kepada pengagungan atas eksistensi perjuangannya. Sekalipun semua itu dilakukan tanpa terlihat oleh siapapun, tapi diri akan bergantung dan berharap kepada Yang Tunggal. Berharap perhatiannya, bahkan balasan kebaikan atas upaya yang telah dilakukannya.
Disaat diri sudah pasti mendapatkan cinta, mengapa sering meminta balasan lebih? Ketika rasa cinta itu merupakan pondasi bangunan ataupn akar dari pohon nan agung, mengapa diri mesti mempertanyakan keberadaan wujud? Sedangkan di atas permukaan selalu ada cahaya yang memberi petunjuk. Diri ini hanya mempersiapkan sesuatu yangkuat dan kokoh untuk menanggung beban apapun yang kelak akan ditempatkan di pundak diri masing-masing.
Kasih, engkau tidak perlu mengetahui bagaimana akar harus menembus bebatuan untuk mencari setetes air. Berapa banyak waktu yang dibutuhkan agar pondasi beton ini mampu menjadi inti dari bangunan pencakar langit. Ketiadaan cinta itu tak usah engkau resahkan ataupun engkau khawatirkan. Sebab, ia menjelma atas keinginannya sendiri dalam kesunyian dan tumbuh dalam keheningan.
Kasih, sekalipun engkau mencoba menarik cinta ini kepadamu. Akan sangat mustahil bagiku untuk menyesuaikan diri di sana, dan sangat sukar pula bagimu untuk dapat sampai ke tempat ini. Sekalipun bisa, akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Betul apabila mustahil untuk melakukan sesuatu yang mustahil, tapi tidak mustahil untuk melakukan sesuatu yang sukar, bukan?
Jangan harap kebahagiaan itu akan selalu menyelimutimu, sekalipun dengan cinta. Sebab engkau masih hidup di dunia ini, hal tersebut menjadi suatu keniscayaan. Kecuali engkau siap dengan kekecewaan dan keputusasaan. Lalu akankah engkau masih memiliki sisa-sisa keberanian?
Oleh sebab itu pula, mungkin diri tidak akan mendekat karena pengalaman yang banyak telah memberi pelajaran. Biarlah rasa ini merindumu seperti adanya. Sekalipun ada harap engkau akan merasakannya, namun harapan itu tak lebih dari kebaikan yang semoga akan lebih engkau dapatkan. Apabila cinta kesejatian itu mengandung 2 bagian antara derita yang mendera dan bahagia yang memuaskan, tidakkah engkau mengetahui bagian mana yang akan diri persembahkan padamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H