Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Mu'aqabah"

13 Oktober 2021   16:39 Diperbarui: 13 Oktober 2021   16:46 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada umumnya , kita pasti memiliki reaksi spontan atas ketidaknyamanan atau keresahan yang sedang dialami oleh diri masing-masing. Kita tidak bisa menghindari pengalaman suasana hati tersebut, sebab keadaan itu bisa jadi salah satu cara Tuhan untuk mengenalkan dirinya.

Akan tetapi kita seringkali lupa, acapkali reaksi spontan kita justru mencari-cari sebab yang berada di luar diri, sebelum mencoba untuk mencari ke dalam diri. Bayangkan saja, siapa yang berkenan memberikan yang sudah terjadi hingga diyakini sebagai "pengalaman"? Siapa yang memberikan legalitas ijin atas segala sesuatunya yang terjadi? Haruskah kita bersyukur atau melaknat?

Kita mengetahui bahwa tidak ada satu pun yang tidak terhubung di dalam kehidupan ini. Kita dapat menelusuri, kita dapat melacak, lantas kita dapat memetakan sesuatu yang menghadirkan keresahan dan ketidaknyamanan. Tapi, apakah dengan menemukan kambing hitam tersebut, tidakkah keresahan itu bisa direvesi menjadi kebahagiaan dan mengembalikan zona nyaman?

Kita juga pasti sudah mengetahui bahwa ada sesuatu yang selalu mengawasi gerak-gerik kita. Keadaan ini sering disebut muraqabah. Terdapat kamera yang selalu memonitoring segala bentuk kegiatan kita, baik gerak lahir maupun batin. Tidakkah seharusnya kita sangat beruntung karena ada sesuatu yang begitu perhatian terhadap diri kita?

Dan bagi diri perhatian itu memantik sebuah pilihan, antara terbuai atau ingin memberikan balasan perhatian yang sama. Apabila kita terbuai, sudah pasti kita akan tidak peduli bahkan cenderung menganggap remeh perhatian yang telah didapat. Akan tetapi, apabila kita ingin memberikan balasan yang pantas, maka otomatis hal pertama yang akan kita lakukan adalah menghitung diri, muhasabah. Mengukur dan menimbang. Sudah sesuai dan pantaskah diri mendapat perhatian itu? Lalu balasan apa yang sekiranya pantas?

Konsekuensi dan potensi kemungkinan yang akan dirasa setelah bermuhasabah adalah ketidakpantasan diri. Betapa diri ini sangat ingkar terhadap banyaknya perhatian yang telah dirberikan. Betapa diri ini sangat lalai untuk setidaknya memantaskan diri atas segala asih yang telah didapat. Betapa diri ini sungguh dholim atas segala nikmat yang telah banyak didustakan.

Maka wajar saja jika keresahan itu dienyam, kegelisahan itu didekap, dan kesengsaraan itu menjadi makanan favorit dalam perjalanan hidup. Kita tidak pernah tahu diri untuk sedikit saja mengalah atau mengaku salah. Kita terdidik untuk tidak memiliki kebesaran hati dan jiwa untuk mengakui bahwa sebenarnya diri ini yang salah. Kita tidak terlatih untuk dapat menerima hukuman apabila diri ini abai terhadap tanggung jawab.

Tidakkah sedikitpun kita merasa tidak tega, bukan terhadap apapun yang ada di luar diri, melainkan terhadap diri kita masing-masing. Sudikah kita menerima konsekuensi atas keangkuhan dan kesombongan diri karena selalu saja mencari-cari kesalahan di luar diri. Tidakkah kita harus berani menghukum diri? Ber-mu'aqabah atas segala negasi suasana hati yang sudah, sedang, ataupun mungkin akan dialami.

Carilah ilmu sebanyak-banyaknya yang semoga saja mampu menghindarkan diri dari kesalahan dan hukum sebab-akibat. Ambillah segala hikmah hingga lubang-lubang luka yang terbuka di dalam hati itu mampu kau tutup kembali. Bangunlah benteng-benteng keimanan nan megah, hingga diri dirasa sudah mampu menyangkal segala godaan kelembutan iblis.

Atau jangan-jangan kita sudah dalam masa tenggang, kita diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan untuk sementara waktu. Tapi, jangan-jangan apakah kita tidak pernah merasa kuota kebaikan kita telah habis? Padahal dalam tenggang waktu tersebut, seharusnya kita jangan pernah berhenti untuk menghitung dengan tenang. Dan jangan lupa ketika dalam suasana apapun, sesuatu yang mengawasi itu bisa jadi sekaligus menjadi sebaik-baiknya pelindung. Tidakkah seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun