Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Kembali Niat Menuntut (Menghidupkan) Ilmu

11 Oktober 2021   16:22 Diperbarui: 11 Oktober 2021   16:25 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar 2 tahun sudah ruang belajar mengajar secara langsung pada umumnya tidak dilaksanakan. Namun, akhir-akhir ini kita pasti sudah melihat seragam-seragam sekolah sudah mulai nampak di pagi hari. 

Fenomena ini seperti menjadi keindahan baru setelah sekian lama jalanan di pagi hari terlihat cukup membosankan. Atau anggap saja itu menjadi subjektif diri saya sendiri.

Acara lain yang masih bernuansa ruang pembelajaran juga berangsur mulai giat dilaksanakan, meskipun dengan prokes yang tetap diterapkan. 

Tentu saja ini menjadi kabar yang menggembirakan bagi para tholabul 'ilmi yang sudah mendambakan suasana-suasana pembelajaran secara langsung. 

Sekalipun semua sependapat bahwa belajar itu penting, tapi hampir semua juga pasti setuju kalau belajar itu membosankan dan menjenuhkan, bukan?

Apalagi harus memakai seragam, terikat dengan waktu, dituntut untuk fokus terhadap hal yang tidak disukai, dan terbatas dengan aturan-aturan tertentu, tentu saja mempengaruhi informasi data terkait pelajaran yang sedang diikuti. 

Buktinya, berapa persen pelajaran sekolah yang mampu diingat? Bandingkan dengan pengalaman-pengalaman menyenangkan ketika masih bersekolah. Ingatan mana yang lebih kuat?

Sekarang, kita harus mengetahui bahwa mencari ilmu tak semudah menggayuh air di bak kamar mandi. Andaikata itu mudah, tentu saja dialektika pembelajaran tentang kehidupan menjadi kurang menarik. 

Terlebih jika pondasi niat kita tepat dalam belajar, tentu saja hal itu menjadi anugerah tersendiri yang telah diberikan kepada kita. Sebab perjuangan dalam menuntut ilmu tidak akan pernah berbatas.

Bahkan, Umar ra. pernah mengatakan tentang keutaman belajar, "Meninggalnya seribu 'abid (ahli ibadah), yang malamnya mengerjakan shalat dan siangnya berpuasa, adalah lebih mudah, daripada meninggalnya seorang 'alim yang mengetahui yang dihalalkan dan yang diharamkan Allah".

Tapi perhatikan orang-orang di sekeliling kita, maka itu akan menjadi cerminan untuk diri kita sendiri dalam menanamkan niat dan tujuan ketika menuntut ilmu. Bagaimana tak terasa waktu telah banyak dihabiskan? 

Sedang ilmu itu seolah hanya lewat ataupun hanya sekilas singgah. Bagaimana keberhasilan dan kegagalan menjadi suatu dogma? Dengan tolak ukur pada umumnya berlandaskan kemegahan dunia, jika dibandingkan dengan keindahan hati.

Manusia berjalan menyusuri jalannya masing-masing, dengan cerita perjalanan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penting bagi diri untuk berada pada suatu kegiatan kolektif dalam ruang pembelajaran. 

Sehingga membentuk suatu majelis dengan banyak variasi bekal pengetahuan yang berbeda-beda. Semakin banyak, tentu akan semakin menambah potensi khasanah keilmuan yang dapat diulik.

Mengingat pentingnya menghadiri suatu majelis, Kanjeng Nabi pernah bersabda, "Menghadliri majelis orang berilmu, lebih utama daripada mendirikan shalat seribu raka'at, mengunjungi seribu orang sakit dan berta'ziah seribu janazah".

Mungkin saja majelis ini bisa digunakan sebagai ajang silaturrahmi atau temu kangen bagi mereka-mereka yang dipertemukan ketika berjalan bersama menuntut suatu ilmu. 

Akan tetapi, keadaan itu mungkin bukan menjadi tujuan utama bagi mereka yang sedang berjuang menuntut ilmu. Dalam sebuah majelis, godaan paling umum adalah tidak bisa tenang. Maka dari itu, bersikap diam menjadi level di atas mereka yang menginginkan silaturrahmi.

Kita akan mencoba menghargai sesorang yang sedang menjadi pembicara, sehingga ada tuntutan agar diri fokus mendengarkan. Mendengarkan ini tidaklah mudah, apalagi kalau kita merasa lebih baik dari si pembicara. 

Padahal, kita tidak akan pernah mengetahui akan keluar dari mulut siapa ilmu itu dititipkan. Kita bisa membayangkan ketika sedang bersekolah, bagaimana mendengarkan seorang guru pun begitu susah, hal tersebut terjadi karena diri merasa apa yang disampaikan tidak begitu penting.

Dengan mendengarkan kita akan banyak mendapat data. Tingkat selanjutnya adalah kita mencoba mengolah dan meramu data-data yang masuk secara random. 

Pada wilayah ini tentu saja kita butuh inisiasi, kreasi, dan keberanian. Ilmu semakin berkembang pada tahapan ini. Hingga yang terakhir buah ilmu itu dapat kita aktualisasikan. Hal ini sangat penting, sebab ilmu akan hilang jika tidak diamalkan.

Kanjeng Nabi saw,"Barangsiapa meninggal dunia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dan Nabi-Nabi dalam sorga sejauh satu tingkat''. Keutamaan menuntut ilmu itu begitu banyak. 

Thalabul 'ilmi fariidlatun 'alaa kulli muslim. Meskipun wajib, tapi kalau kita berlebihan dalam mencarinya juga tidak terlalu bagus karena banyaknya ilmu akan berpotensi digunakan sebagai alat untuk menghias diri saja. Na'udzubillahi mim dzalik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun