Lalu Mbah Nun merubah pernyataan tersebut menjadi lebih dinamis. "Ono wong pinter dunyo digawe akhirat. Ono wong pinter akhirat digawe dunyo. Wong pinter dunyo gawe dunyo (urusane bathi terus). Ono wong pinter akhirat digawe akhirat. Kamu pilih yang mana?" Ada banyak variabel dan jenjang dimensi di setiap wilayah yang mana akan memiliki akibat yang berbeda.
Kita (Padhangmbulan) sudah belajar bahwa tidak ada apapun yang berakibat akhirat. Mbah Nun mempercayai bahwa arek Padhangmbulan sudah pinter dalam hal akhirat. Tapi beliau menyampaikan, "Aku pingin arek-arek iki pinter dunyo gawe akhirat. Hijrah untuk Allah dan Rasul, maka urusan dunia akan mengikuti dan insyaAllah beres."
Mbah Nun menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah melakukan apapun dengan tujuan untuk mencari uang. "Pokoke angger obah mamah!" kata Mbah Nun. Terus oleh karena niat tersebut, lantas beliau merasa mendapat rizki. Mbah Nun memiliki keyakinan hanya mengerjakan tugas yang diperintahkan oleh Allah.
Yang pasti kita shiddiq atau bersungguh-sungguh dalam melakukan apapun. Apabila kita berkumpul seperti ini, semestinya dilakukan dalam rangka untuk menemukan fathonah bersama. "Temukan fathonah-fathonah, temukan sesuatu yang baru." Kita selalu berusaha mendekati Allah, tapi apakah Gusti Allah mendekat kepada dri kita? Kita tidak pernah bisa memastikannya.
Kita memiliki beragam keberangkatan yang berbeda-beda. Sehingga pasti berpotensi menimbulkan banyak keyakinan-keyakinan yang berbeda. Dan sudah menjadi hal yang wajar apabila muncul sifat benci antara satu dengan yang lain. Namun, Mbah Nun hanya mengingatkan bahwa benci itu boleh, asalkan kita harus ingat, "Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu bersikap tidak adil."
Sedangkan yang utama dari manusia itu hatinya atau pikirannya? Kalau sekolah itu diurusi gak hati(anak didik)nya? Lalu siapa yang mengurusi hati? Padahal yang utama adalah hatinya. Ta'dib akan banyak melatih hati kita setidaknya untuk mendapat salah satu sifat Rasulullah "aziizun alaihim ma anittum (tidak tega melihat penderitaanmu)", terhadap situasi yang sudah semakin kehilangan pemberadabannya.
***
Sebenarnya tidak ada alasan untuk berhenti mencari ilmu. Sekalipun dalam pekerjaan, semestinya hal itu juga termasuk dalam rangka mencari ilmu. Keterbatasan selama pandemi ini banyak memberikan pelajaran untuk dapat melatih kebiasaan baru. Salah satu yang mesti diupayakan yakni upgrade kapabilitas diri agar kompatibel dengan speed, ability ataupun endurance terhadap perubahan kebiasaan.
Khusus untuk sinau bareng yang biasa dilakukan pada malam hari, dalam situasi terbatas dan mudahnya akses informasi membuat saya harus banyak berlatih untuk menyerap hikmah di waktu yang berbarengan dengan kewajiban bekerja. Tentu ada konsekuensi terpecahnya fokus dan merusak salah satunya, namun saya yakin masing-masing memiliki caranya sendiri untuk dapat menyesuaikan diri.
Keadaan itu seperti menjalankan dua program atau lebih dalam satu waktu. Kalau perlu, kita mesti upgrade diri agar bisa split-screen, untuk mempermudah dalam menjaga fokus. Akan tetapi, ada keadaan yang mana dalam pekerjaan kita tidak sendirian. Untuk meminimalisir prasangka ketika secara diam-diam kita belajar, maka kita membutuhkan suatu cara yang membuat nyaman semuanya.
Setiap diri memiliki receiver pada indra yang dimiliki yang nantinya akan bermuara pada satu tempat yang sama, yakni akal. Baik penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, ataupun perasa bisa kita rolling dalam momentum-momentum tertentu agar bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Kita mesti pintar menekan tombol switch agar ilmu itu bisa terus mengalir. Beruntung pula kita ada di zaman dengan kemajuan teknologi dan alat pendukung yang bisa dimaksimalkan fungsinya, terutama dalam konteks mencari ilmu.
***
22 September 2021
