Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asyiknya Hidup di Negara Hukum yang (Baik) Pemaaf!

26 Agustus 2021   18:11 Diperbarui: 26 Agustus 2021   18:20 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya hidup di Negara Antah Berantah yang sangat megah. Dianugerahi dengan bentangan semesta yang sangat menawan. Begitu juga dengan melimpahnya kekayaan alam yang terkandung di hamparan tanah yang subur, ataupun dalam luasnya lautan yang mayoritas menyelimuti negaraku. Untuk menjaga keseimbangan itu semua, maka negaraku sangat menjunjung tinggi hukum sebagai tonggak kedaulatan bangsa.

Di negaraku hukumnya cukup unik, yang seharusnya tegas dan bijaksana, bahkan galak. Namun nyatanya, hukum seperti tontonan yang selalu menyuguhkan hiburan dalam setiap perkaranya. Ya, tentu saja hukum yang diberlakukan tidak sekalipun bersifat main-main. Akan tetapi, untuk beberapa perkara tertentu, mereka tak ubahnya seperti pelawak yang selalu menawarkan canda, tawa, meski di antara tawa tersebut tak ayal sedikit menyulut emosi.

Saya dilahirkan tanpa prosedur hukum negara, namun semakinberanjak dewasa, saya mesti berurusan dengan kebutuhan ijin sana-sani dan harus taat dan tunduk terhadap segala aturan yang disusun atas nama hukum. Hukum untuk menjaga ketertiban dan kesejahteraan, akan tetapi justru berbelit-belit dengan begitu banyaknya instansi-instansi yang perlu dijelajahi untuk sekali menyelesaikan urusan. Terkadang situasi ini membuat kisruh di dalam diri, "saya ini ciptaan Tuhan atau ciptaan pemegang kekuasaan?"

Tapi, memang seperti itulah salah satu keindahan yang patut disyukuri di negara Antah Berantah. Kalau misalnya rakyat mengkritik melalui kreativitas, hal seperti ini bisa dianggap mengancam. Kalau rakyat banyak mencerca atau memaki tersangka korupsi, itu bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk mengurangi masa hukuman tersangka. Unik memang, ajaib! 

Saya dan kawan-kawan seperti hidup di negeri Sulap. Kita sudah mengetahui kalau hukum yang berlaku "tajam ke bawah, tumpul ke atas", namun alat kedaulatan tertinggi itu seolah jutru dijadikan seperti panggung Srimulat. Aktor protagonisnya baik baik dengan memberikan empati terhadap tokoh antagonis yang mencuri kesejahteraan rakyat. Mudah memberikan hati berulang kali terhadap para pemangkas anggaran dana Negara. Hukum sangat fleksibel terhadap para tikus-tikus berdasi.

Negara tidak berlaku sebagaimana mereka menjunjung tinggi hukumnya. Negara seolah-olah hanya sebatas formalitas bagi mereka yang sebenar-benarnya berkuasa atas negara Antah Berantah ini. Mereka seperti menggunakan hukum bukan sebagai alat kedaulatan rakyat, melainkan hanya sebagai alat penunjang untuk memehuhi hasrat kekuasaan dan kepuasan. Di negara antah berantah ini, seolah-olah hukum bisa dibeli dan ditawar. Dengan catatan asal memiliki uang yang cukup.

Saya ingat sebuah kalimat "baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghoffur". Namun, nyatanya ini sebuah negara yang tidak butuh kebaikan. Negara ini sangat pemaaf, terutama masalah hukum. Kebutuhan akan kebaikan langsung di shortcut, seolah-olah negara ini sesuatu yang bisa merasakan. Padahal negara seharusnya tidak bisa memaafkan, tidak bisa memberi rezeki, tidak bisa mencintai, dlsb. Kecuali jika negara sudah dikuasai oleh orang-orang tertentu. Sistem yang sudah diberlakukan di negara Antah Berantah ini sangat fleksibel, sehingga wajar saja jika kesejahteraan dipangkas sana-sini.

Namun, untung saja para penduduk negara Antah Berantah ini merupakan ahli dari segala ahli mengenai kesabaran. "The Real Juragan" ini sangat berbaik hati terhadap para wakilnya yang diamanahi untuk mengurus segala tata kelola wilayahnya. Meskipun banyak dicurangi dan justru dikepala-kepalai oleh para pemegang amanat itu. Bahkan tak sedikit dari pemegang amanat itu terlanjur pongah dan hidup bermewahan melebih para juragannya.

Negara ini menjadi tuhan, para penjilat menjadi malaikat-malaikat yang tunduk dan taat, dengan para pemegang otoritas yang menjadi para utusannya. Sungguh menyenangkan hidup di negara yang penuh dengan retorika. Meski nyatanya hanya merendahkan logika, hingga kehilangan nilai-nilai estetika kehidupannya.

Jadi, besok sekalian aja caci maki segala para tersangka dan pelaku kejahatan lainnya. Agar tidak hanya dikurangi masa humumannya, namun sekalian aja dibebaskan. Biar manusiawi! Hukumnya besok berlandaskan manusiawi, sedangkan manusianya bertingkah hewani! Tapi setidaknya, kita bisa dipandang oleh dunia sebagai Negara paling baik hati dan pemaaf! Dikasih penghargaan kalau perlu. Kalau tidak ada ya diselenggarakan sendiri dan menghadiahi diri sendiri. Biar puas!

Ah, Negara Antah Berantahku. Baldatun (thoyyibatun) ghoffur!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun