Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan Tidak Pernah Viral

9 Juli 2021   16:12 Diperbarui: 9 Juli 2021   17:10 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/alexei-scuteri

Menarik ketika mendengar sebuah statement yang menyatakan bahwa virus yang sedang trending di wilayah global ini tidak memiliki sifat pemaaf, pengampun, pengasih, ataupun penyayang. Saya sangat setuju sehingga memantik saya untuk bertanya, yakni mengapa kita membutuhkan sifat-sifat tersebut untuk menjadi sesuatu bagian yang harus dimiliki oleh jasad renik tersebut? Agar kehidupan kita dan ummat sejagad dunia selamatkah?

Jika kita hidup satu tempat dengan singa yang sedang kelaparan, apakah masih kita berharap sifat memaafkan dan mengampuni dari Sang SInga? Tapi kan sifat dan kebiasaan virus dan hewan berbeda? Kalau ada pertanyaan itu, mengapa kita juga tidak melakukan adaptasi yang berbeda? Entah dari cara penanganannya agar tepat cara berdaptasi diri kita dengan kemungkinan-kemungkinan yang baru.

Kalau virus-virus itu bergerak sesuai nalurinya dengan mencoba bertahan hidup pada induk inangnya, apakah hal tersebut salah? Ada perubahan-perubahan yang bisa dikategorikan baik dan tidak baik oleh akibat jasad renik. Yang baik misalnya proses fermentasi, sedangkan yang buruk misalnya membuat makanan yang dibiarkan menjadi busuk. Kalau perkembang-biakkan virus yang tidak baik itu terjadi pada tubuh, besar kemungkinan manusia itu akan menjadi sakit bahkan menyebabkan kematian.

Tidakkah bisa kita menyederhanakan pemikiran bahwa salah satu konsekuensi yang hidup, pasti akan mengalami kematian. Tanpa kehadiran virus varian baru pun, setiap hari kita bisa saja mengalami kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan hilangnya nyawa. Baik ketika sedang berada dalam perjalanan, ketika mengkonsumsi suatu makanan secara berlebihan, bahkan kita tidak bisa memprediksi ancaman alam yang sangat nyata ketika mengingat keadaan geografis yang kita sedang tempati.

Yang kita lihat ancaman adalah sesuatu yang sedang viral. Yang dikira paling membahagiakan juga mendatangi tempat-tempat yang viral. Yang dianggap menyedihkan juga datang akibat banyak mengkonsumsi informasi-informasi kesedihan yang sedang viral. Sedangkan, semua yang berkuasa atas terciptanya semua itu mengapa tidak pernah viral? Mengapa Tuhan Yang Maha Menghidupkan tidak pernah kita viralkan jasa-jasanya melebihi kematian yang sebenarnya atas ijin Yang Maha Mematikan pula? Hanya saat ini hanya beda perantaranya (Covid) saja.

Tak dapat terhitung lagi tentang seberapa banyak Dia membagi-bagikan rahmat sedang Tuhan sendiri selalu dalam kesibukan. Apalagi kalau akar permasalahannya berasal dari kepercayaan yang tidak bisa digeneralisasikan atau disama-ratakan terhadap subjek-subjek tertentu. Dalam kasusu ini, virus yang masih bisa kita upayakan untuk menjinakkannya, seolah-olah lebih menakutkan daripada amarah dari Yang Maha Membalas terhadap diri kita.

Dan kalaupun kita bisa benar-benar memproyeksikan hidup sebagai suatu ibadah dengan rakaat yang panjang, seharusnya kita sudah tak terlalu hanyut dalam sesuatu yang liar di kehidupan maya (jagad media sosial). Kita seharusnya tidak latah atas ketidaktahuan massal yang seharusnya memang menjadi kesadaran diri kita. Tidak usah mengaku mengerti, jika belum bisa membuktikan. Tidak usah banyak mengajak untuk berupaya, jika diri juga tidak bisa menjadi sebuah teladan.

Di dalam tubuhku sendiri sudah ribuah bahkan jutaan virus yang hidup sebagian ngekos, sebagian lagi mulai mengkapling, bahkan sudah ada yang membuat bangunan tetap karena mendapat tawaran jabatan penting dalam negara pertubuhan ini. Kalaupun, virus asing datang dengan banyak mengkontaminasi kesejahteraan yang sudah terbangun, seharusnya diri kita sendiri-lah yang seharusnya bisa mengetahuinya.

Meskipun dia datang tidak membawa opsi lain kecuali naluri keinginannya untuk bertahan hidup, mengapa kita tidak memberi sedikit ruang kepadanya? Bukankah kita dituntut untuk menjadi rahmatan lil 'alamin? Atau hanya sekedar rahmatan lin-naas? Atau kita ingin segera mengatasi segala pola yang terbaca sebagai antek perbuatan nahi-munkar?

Sepertinya kita perlu benar-benar belajar jujur terhadap diri kita, bahwa dalam pikiran dan keyakinan kita, lebih viral mana antara Tuhan dengan Covid-Nya? Mengapa tidak pernah diviralkan jika segala penyebab utama kematian adalah kehendak Tuhan?

-

9 Juli 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun