Segala bentuk laku wirid dan sholawat yang dilakukan dulur-dulur Selasan merupakan salah satu bentuk penghambaan yang ditujukan kepada Sang Raja Sejati. Dengan melakukan wirid dan sholawat, setidaknya ada salah satu upaya dari seorang hamba untuk menghias diri dan bersiap-siap menuntaskan keinginan diri untuk menghadap Sang Raja. Meskipun ada banyak bentuk upaya lain yang dilakukan, wirid dan sholawat mengembalikan pada hakikatnya, bahwa semua yang diperbuat merupakan penghambaan terhadap Sang Raja Tunggal.
Pada kesempatan minggku ke-81 ini, yang bertempat di kediaman Mas Dhida Rahmawan, Dusun Jumbleng, Muntilan, mewujud berbagai rona penghambaan yang tidak bisa dibuktikan secara logis, kecuali dari persaksian terhadap diri sendiri. Nampak suatu pencarian ke dalam diri sebagai cara membangkitkan kembali niat untuk melayani Tuhan. Semua berkumpul di kediaman Mas Dhida, tiada bukan dan tiada apapun kecuali hanya untuk melayani-Nya.
Ya, dulur-dulur setiap Selasa malam selalu berjuang untuk beramal saleh bersama-sama untuk mencari rahmat, menyongsong keabadian, menuju ketetapan di masa depan yang masih ghaib. Kita sama-sama sedang berada dalam perjalanan dari terminal ketidaktahuan menuju keluasan pengetahuan. Bahkan dengan hal-hal yang berada di luar batas logika, karena daya intuisi atau kepekaan hati selalu terasah dengan pola rutinitas wirid dan sholawat ini.
Keadaan mungkin sedang membatas segala bentuk perkumpulan, namun dengan penuh kerendah-hatian, kesungguhan, dan juga kewaspadaan, Selasan pun bergulir seperti biasa. Situasi ini bisa jadi bentuk peneguhan untuk berpaling terhadap dunia. Karena berpaling terhadap dunia pada zaman sekarang ini, tdak hanya kepada materi, pun kepada segala keriuahan yang tercipta oleh arus informasi yang begitu deras.
Jika ada suatu kata bijak "satu orang alim lebih baik dari seribu zahid", mungkin saja dulur-dulur dalam Selasan adalah bagian dari zahid yang seribu. Kita bukan orang alim yang menguasai banyak ilmu. Kita hanya orang-orang yang sedang berjuang untuk terus mencari pengetahuan-pengetahuan yang bisa di dapat kapanpun dan dimanapun. Karena seorang zahid dengan laku kezuhudannya akan tampak absurd tanpa diimbangi dengan pengetahuan.
Oleh karena itu, malam ini seolah menjadi perkumpulan para zahid yang sedang melayani Rajanya dengan lantunan wirid dan sholawat yang terlantunkan. Segala bentuk penghambaan tidak bisa dinilai hanya melalui mata wadag, sekalipun dilakukan secara kolektif. Yang terjadi semua berusaha untuk saling mengenal perbedaan yang mungkin nampak. Hingga menyatu dalam kebahagiaan bersama.
Bersama-sama dulur-dulur mengarungi malam. Berusaha semaksimal mungkin menghabiskan banyak waktu menemani Kehidupan yang tidak pernah mengantuk dan tak pernh tertidur. Bersama-sama kita berdoa dan memohon atas segala ampunan, karena tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah kecuali tanpa ijin-Nya. Yaa 'Alimul Ghoib. Hanya Engkau Yang Maha 'Alim. Mengetahui segala sesuatu yang ada di belakang dan di depan kami, sedangkan tidak ada apapun yang kami ketahui melainkan atas kehendak-Nya.
Melalui Selasan, dulur-dulur hanya bisa belajar melayani. Belajar untuk mencari banyak hal tentang kesejatian dan berpaling atas kepalsuan. Kami adalah bagian dari yang baik dan buruk. Yang sedikit benar dan banyak memeilhara yang salah. Yang dholim dan yang banyak lalai. Yang terkadang rajin dan banyak malasnya. Yang terlalu menyombongkan diri, sedang jarang memohon ampunan-Mu.Â
Yaa Hayyu Yaa Qayyum. Kami hanya bisa memanjatkan, "Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya" sebanyak sembilan kali di sela-sela perjalanan wirid kami. Semata-mata bukan berarti kami berhenti berjuang, melainkan supaya hati kami teguh atas segala bentuk penghambaan dan pelayanan kami kepada-Mu.
Dusun Jumbleng, 22 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H