Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengkonotasikan Kata "Ancaman"

25 Juni 2021   22:58 Diperbarui: 25 Juni 2021   23:05 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/taylor-brandon

Dalam ketidaktahuan masal masa pandemi ini, kita tidak akan pernah mengetahui kapan fenomena ini akan berakhir. Karena untuk mengatasi pun kita masih coba-coba atau mungkin spekulasi. Keterlambatan dalam mengambil sebuah keputusan bagi para pemegang mandat kekuasaan, menimbulkan berbagai keadaan yang memaksa diri untuk segera keluar mencari penghidupan. Sekalipun mengetahu resiko yang mungkin saja akan mengancam dirinya.

Tapi, bukankah ancaman itu merupakan hal yang tidak dapat kita ketahui? Tanpa pandemi pun kita selalu diburu, diincar, dijadikan target pengawasan, oleh pemangsa-pemangsa yang yang tidak dapat kita ketahui keberadaannya. Tidak bisa kita hitung kapan waktu kedatangannya. Juga tidak bisa kita pastikan bentuk dan wujudnya. Sehingga kita bisa meminimalisir ancaman selain virus yang sedang merebak.

Sebuah ijtihad bisa menjadi sebuah bentuk kesombongan apabila kita tidak berhati-hatidan waspada terhadap segala kemungkinan. Fenomena Covid hanyalah salah satu dari beribu-ribu ancaman yang datang setiap hari. Tapi, mengapa beribu-ribu itu hanya kalah oleh salah satu keadaan yang begitu trending topik dimana-mana. Kita hanya terseret oleh arus informasi yang begitu dipertahankan selama bertahun-tahun, atau bahkan mungkin sengaja dibiarkan berlarut-larut. Ketika akan tenggelam, hal itu di follow-up lagi ke permukaan. Terlebih, bisa dijadikan alat untuk mendukung penyuluhan vaksinasi.

Lalu, apakah saya termasuk bukan orang yang bersyukur apabila tidak ikut vaksin? Sedangkan, saya sendiri tidak pernah menerima secara langsung anjuran untuk segera divaksinasi. Apalagi, jika harus di blow-up ke media pribadi agar termasuk orang-orang yang tidak tertinggal. Memang apa salahnya hidup tertinggal atau primitif di keadaan yang disangka sangat modern?

Saya lebih memilih untuk memvaksinasi diri terhadap beribu kemungkinan ancaman dibandingkan dengan satu. Satu vaksinasi dari rahmat datangnya Covid-19, tidak menjadikan saya untuk langsung memprioritaskan hal tersebut untuk segera dilakukan. Saya setiap hari menempuh minimal 30km, yang mana dala rentang jarak tersebut lebih banyak mengandung ancamannya daripada terlalaikan oleh virus. Dan ancaman selama perjalanan itu lebih nyata dibandingkan virus yang sejak dahulu memang sudah ada pada diri saya.

Ketika saya libur dan dirumah pun, apakah lantas saya merasa bebas dari ancaman? Lihat letak geografis negara kita, kita berada di zona yang sangat rentan akan bencana. Terlebih daerah kita juga berada di garis Ring of Fire, apakah itu bukan ancaman yang nyata? Terlebih kalau kita selalu berpikir? Geger gedhen atau chaos itu bisa sangat mungkin datang kapan pun, melebihi kekhawatiran kita terhadap ancaman informasi yang terlalu dilebih-lebihkan.

Kalau kita persempit maknanya lagi, apa itu ancaman? Kenapa kok dibilang ancaman? Apa yang diancam dan siapa yang mengancam? Jika ancaman menurut KBBI adalah menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain. Lalu,siapakah yang menyatakan ancaman itu terhadap kita? Apakah Covid-19 mendeklarasikannya di depan pers? Ah, konyol juga jika berpikir dalam sampai kesitu.

Atau sebenarnya kita hanya membaca keadaan? Kita resah atas suatu tragedi yang banyak menelan korban jiwa, sehingga kita sebut hal itu merupakan sebuah ancaman. Dengan tersangka utamanya Covid-19. Lhoh, apa salah mereka hidup? Hak asasi untuk hidup bukan hanya milik manusia, makhluk lain pun juga mungkin punya naluri yang sama. Padahal, kalau kita menyatakan diri memiliki hak atas kehidupan, itu juga sudah menyalahi kodrat. Kita tidak memiliki investasi apapun sehingga kita berhak untuk memberikan jaminan terhadap kehidupan ini. Kita bisa mati kapan saja, sesuka-suka yang memiliki hak penuh atas hidup kita sebagai manusia.

Kitanya saja yang telah banyak masuk secara tidak sengaja ke dalam sistem perdagangan. Bahkan, kepada Tuhan pun kita inginnya menawar dan mencari keuntungan. Seolah-olah Dia bagian dari Dinas Sosial. Padahal, Dia selalu menjamin kehidupan kita semua. Dia hanya ngin kita bersungguh-sungguh dalam amanat yang diberikan atas kesempatan di dalam kehidupan dunia yang diberikan. Satu-satunya ancaman justru datangnya dari Tuhan, dan itu satu-satunya yang paling nyata!

Tergantung sisi mana yang akan kita ambil dari sebuah kata 'ancaman'. Secara konotasi-kah? Atau denotatif? Saya lebih suka memilih untuk mengambil sisi konotasi dari sebuah ancaman. Karena bisa jadi itu merupakan salah satu bentuk kemesraan yang banyak mengandung rahmat dan kebaikan, hanya saja kita belum mampu menyadarinya.

***

24 Juni 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun