Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Lupa akan Keindahan Ketika Menatap Langit

22 Juni 2021   15:15 Diperbarui: 22 Juni 2021   15:25 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal yang paling tidak bisa kita hindari adalah penilaian dari orang lain atas segala hal tentang diri yang nampak di pelupuk mata mereka. Sebaik-baik upaya yang selalu kita rawat dan jaga dengan baik, belum tentu sama dengan nilai yang didapat dari pandangan segala sesuatu yang di luar diri kita. oleh karena itu, kita butuh keyakinan agar tidak mudah goyah segala pendirian yang telah dimiliki dalam diri.

Untuk mencapai keyakinan itu sendiri bukanlah sesuatu yang mudah. Orang-orang mesti mengalami pupusnya banyak harapan yang selalu berlalu-lalang dalam angan-angan pemikiran.

 Ataupun merasakan segala gejolak rasa takut yang mencuat akibat segala ketidakpastian harap. Tapi, itulah medan awal yang mesti dilalui sebelum masuk ke dalam yakin terhadap sesuatu.

Kata yakin ini sendiri sering dikata sebagai sesuatu yang memiliki satu frekuensi dengan iman. Sedangkan  iman, sering kita dapati sebagai sesuatu yang membutuhkan proses mengingat yang berulang-ulang. 

Kalau dalam bahasa Jawa iman sering dikaitkan dengan ling. Dan mengingat itu sendiri bisa diaplikasikan ke dalam benyak hal, termasuk harapan-harapan yang berlalu-lalang dalam kemerdekaan pikiran. 

Maka dari itu, dari banyak hal tersebut kita membutuhkan satu Subjek tunggal yang mesti kita ingat sebagai poros utama. Karena segala sesuatu merupakan kuasa-Nya. Karena tiada daya dan kekuatan apapun yang terjadi selain atas ijin dari-Nya.

"La haula wa quwwata illa billahil-'aliyyil 'adhim."

Kalau dilihat secara eskalasi nilai, kemarin kita sudah mendapati 3 lapis langit yakni langit harapan, langit keyakinan, dan lapis kepastian. Ada suatu pepatah yang menyatakan bahwa manusia mungkin bisa tetap hidup tanpa makan, akan tetapi manusia tidak bisa hidup tanpa harapan. Harapan adalah salah satu bagian yang terkandung oleh karena perasaan cinta akan sesuatu. Dan itulah yang umumnya dialami oleh manusia.

Sedangkan kita pasti seringkali mendapatkan nasihat, jangan kita banyak menggantungkan harap kepada manusia, kecuali jika kita telah siap dengan rasa kecewa. Salah satunya adalah prasangka yang ada di paragraf awal tulisan ini. 

Kita tidak akan pernah bisa dinilai baik oleh semua orang. Justru semakin banyak kita mendapat prasangka, disitulah orang-orang mulai banyak yang memperhatikan diri kita. Karena tuntutan dan harapan mereka menjadi sebuah ekspektasi kepada diri kita yang dianggap lebih baik.

Setelah selesai dengan harapan, kita mendapati lapisan keyakinan. Di mana dalam wilayah ini, ada sebuah ungkapan "mereka tidak takut dan tidak pula bersedih hati." 

Mereka sudah memiliki keyakinan terhadap segala ketentuan dari Allah Swt. Dalam lapisan keyakinan, kita sudah selesai dengan urusan dualisme benar-salah, baik-buruk, hitam-putih, karena keyakinan akan menuntun diri untuk dapat lepas dari segala bentuk dualisme. 

Lalu mengambil hikmah dan pelajaran dari segala sesuatu yang terjadi. Mendapati segala bentuk nikmat, sekalipun harus didapat dari hal-hal yang tidak membuat diri sendiri nyaman.

Namun, segala sesuatu yang berlebihan atau tidak sesuai porsi juga kurang baik, termasuk keyakinan yang dimiliki. Karena nantinya keyakinan akan memiliki kelemahan berbentuk merasa benar dan tepat atas segala bentuk perilaku ataupun olah sikapnya. 

Oleh karena itu dalam keyakinan, kita juga mesti membutuhkan penyeimbang berupa sikap kewaspadaan. Kalau iman adalah ling, maka waspada adalah wujud tawakkal-nya.

Tidak semua hal mampu kita ikhtiarkan. Bahkan, kesadaran akan sikap ikhtiar itu sendiri merupakan sebuah bentuk syukur atas nikmat batin yang diberikan oleh-Nya. 

Dengan sikap kewaspadaan kita diarahkan untuk memahami betul, bahwa segala bentuk keyakinan dan kewaspadaan dalam diri merupakan bagian kecil dari qudroh dan iradah-Nya. Kita tidak akan pernah membebaskan diri dari kedua hal itu. 

Sesakti dan seampuh apapun kita menghias diri, kita tidak akan pernah mengubah sesuatu yang tidak sesuai cetak biru dari qudroh dan iradah-Nya. Di situlah langit kepastian, kita sebagai manusia tidak akan pernah bisa memasuki wilayah Tuhan.

Apabila 3 wilayah itu merupakan lapisan langit, lalu apa kesan pertama kita jika melihat langit? Apakah dengan memandang birunya langit atau bintang yang jatuh, lantas harapan kita akan terkabul? 

Lalu bagaimana jika mendung? Kalau langit memberi keyakinan, lalu mengapa ia silih berganti antara siang dan malam? Dia menjadi peranta cahaya dan hujan. Menjadi ruang bermain bagi angin dan buliran salju. Apa yang kita dapati dari satu kata "langit"?

Ketika mendengar kata langit, saya seolah mendapat tawaran akan keindahan yang tersaji. Kalau boleh dan diijinkan menawar, maka saya akan menambahkan makna keindahan ke dalam 3 lapiasan langit yang diberikan. 

Keindahan yang menyelimuti ketiga lapisan itu. Keindahan yang memberikan warna dan penghibur agar jiwa-jiwa kembali menjadi tenang. Keindahan yang selalu bertaburan tidak hanya berbentuk nikmat, namun juga menyajikan rahmat.

Bukankah perjumpaan kita kelak tidak bergantung pada harapan ataupun keyakinan diri atas amal saleh yang kita lakukan melalui proses iman dan taqwa? Tidakkah perjumpaan itu hanya akan terjadi atas perkenaan keindahan rahmat-Nya? 

Oleh karena itu kemarin kita juga diingatkan akan kehendak-Nya dengan selalu berpijak pada insyaAllah dan meneguhkan keyakinan atas Rahmat Allah. Dan tiada keindahan itu didapat tanpa hadirnya muthma'innah atau ketenangan.

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (13:28) 

***

21 Juli 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun