Jangan terlalu banyak mengumbar tentang sesuatu yang kita sendiri belum dapat memastikannya. Awan mendung tak selalu mendatangkan hujan, bahkan waktu saat matahari hendak menampakkan dirinya juga tak selalu sama di setiap harinya. Kita hanya bisa niteni, lalu memprediksi hasilnya untuk digunakan sebagai kuda-kuda atas segala apapun kemungkinan keadaan yang mungkin menyapa.
Kita mungkin sadar sedang berdiri di tanah ketidakpastian. Dan ketidakpastian itu pasti, sehingga dari situ lantas kita selalu memacu diri untuk terus berjuang. Tidak hanya untuk mencari penghidupan, tapi juga berusaha agar tidak kesepian. Apakah kita bisa memastikan bawa diri ini akan selalu dalam kebersamaan? Jadikan kebersamaan itu adalah bagian dari diri kita, bukan kita yang menjadi bagian kebersamaan. Kecuali kalau kita memang sengaja ingin dimangsa.
Perjalanan ini menjadi pilihan kita masing-masing. Kita hanya perlu menentukan arah navigasi, yang menentukan diri ini akan tertuju. Dan yakinlah, pilihan itu selalu menjadi yang terbaik bukan untuk memuaskan diri, melainkan hanya untuk lebih mengenal diri. Kita tidak akan pernah bisa lari dari segala sergapan derita, pun kita juga tidak akan bisa selalu memenjarakan diri dalam gempita rasa suka dan cita.
Beruntung, terdapat satu kata dari berjuta kata yang menjadi alasan utama kita untuk terus hidup. Sekalipun kita menafikkan makna cinta secara harfiah, namun secara rasa, kita tidak akan pernah lepas dari ikatannya. Dari cinta, Ia mencipta segalanya. Oleh karena itu, Ia melingkupi segalanya. Tidak ada sesuatu yang menjadi musuh  ataupun sekutu bagiNya.
Kita secara tidak langsung selalu diajarkan oleh cinta kepadaNya. Namun kita secara tidak sadar selalu ingkar dan mencari pengganti lainnya. Karena selain cinta kepadaNya, tidak ada cinta itu akan pudar bahkan hilang tertelan waktu.
Tidak ada cinta selainNya yang tidak akan mengalami kehilangan, sehingga luka itu selalu berulang kali kita bangun dengan megah dan lebih megah. Hingga semakin besar kemegahan cinta itu, semakin menderita kita kelak dibuatnya. Lantas kita mengalami patah hati, sakit, dan terluka. Selanjutnya, naluri kita selalu mencari tempat pelarian untuk menutup luka-luka yang menganga akibat cinta. Dalam bentuk apapun itu.
Terlebih apabila kita hanya bermain-main dengan rasa tersebut, kita bahkan akan mengalami kemungkinan kehilangan rasa cinta kepada-Nya. Di saat itu terjadi, mungkin iblis tertawa. Menertawakan keberhasilannya menipu kita. Kita hanya bisa berharap semoga saja akar taqwa kita masih tertanam kuat di dalam diri kita masing-masing, sehingga masih ada kewaspadaan dalam diri. Waspada bukan terhadap godaan iblis, melainkan waspada apabila Tuhan menutup rapat-rapat pintu hati kita akan rahmat-Nya.
Itu semua tergantung segala pernyataan kita, berlandaskan kata-kata yang terucap dari lidah kita. Sebab, dari kata-katalah semua menjelma menjadi doa. Kata-kata yang pasti adalah buah dari segala pemikiran. Penyekutuan diri kita, pengingkaran, ataupun dusta, semua hal yang menyebabkan murka bukanlah berasal dari perbuatan ataupun kata-kata, melainkan dari pemikiran kita yang masing-masing dari kita sendirilah yang mengetahuinya.
Segala bentuk luar ataupun dhohir diri kita sangat mungkin dimanipulasi oleh perkataan-perkataan orang lain atas penilaiannya. Ataupun atas dasar sandiwara dirinya yang pandai bermain retorika hingga mampu membuat orang lain terjebak ke dalam prasangka yang diinginkannya. Tepat atau tidak bergantung pada alam pikiran kita yang terpisah dari segala dhohir diri kita.
Karena ia hidup dan merdeka di dalam ruh atau kesejatian diri kita yang sebenarnya. Namun untuk mengenali diri kita pun, kita justru memperbanyak hijab yang mana hal tersebut disangka mampu menghias diri kita dari pandangan orang lain. Hingga berkah dan rahmat cinta pun pada akhirnya hanya ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya transaksional.
Sungguh, begitu banyak hal yang dibenahi mulai dari diri. Sebelum banyak mengumbar wacana-wacana pemikiran tentang apa yang harus dibenahi di luar diri. Karena dalam diri kita, terdapat segala titipan perangkat yang kelak akan diminta laporannya. Dan tidak hanya lidah yang mahir bermain kata. "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (17:36)