Belajar tentang kesejatian tidak bisa dijadikan sebagai suatu capaian selama hidup. Tidak ada satupun orang yang benar-benar bisa mencapainya, kecuali hanya sebatas pandangan ataupun penilaian seseorang atau sebagian saja.Â
Kehebatan tak ubahnya kemewahan pakaian yang sedang dikenakan seseorang. Kesohoran ibarat wewangian parfum yang sering digunakan oleh diri.
Tidak bisa pula kita belajar banyak hal tentang kesejatian, kalau hati kecil kita pada akhirnya terdengar oleh-Nya dengan menyatakan bahwa akan menghias diri dengan ilmu-ilmu tersebut.
 Ilmu bagai mahkota bagi seseorang. Namun apabila tidak bijak dalam penggunaannya, ilmu ibarat bom yang selalu kita bawa yang siap meledak kapanpun dan dimanapun.
Apalagi jika model pembelajaran itu hanya dilakukan secara harfiah atau dengan banyak mengandalkan kata-kata. Padahal, untuk memahami kesejatian yang melingkupi apapun, kita pun mesti harus siap dengan model pembelajaran apapun.Â
Tidak hanya sebatas kata-kata yang bisa diidentifikasi dengan indera penglihatan saja, akan tetapi indera yang lainnya pun perlu diajak untuk peka dan ikut mencari. Jika ember yang kita bawa semakin besar, tentu air ilmu yang dapat ditampung akan semakin banyak.
Dengan zaman yang semakin maju, banyak gambar-gambar visual dengan kata-katanya mengajarkan tentang ilmu kesejatian. Namun, itu tidak bisa diartikan secara umum atau harfiah.Â
Kita tidak bisa mengambil buah itu begitu saja. Misalnya ada sebuah fatwa, "dzikir pagi dan petang seperti baju besi, semakin bertambah ketebalannya,maka pemilikinya tidak akan tertimpa bahaya."
Dari satu fatwa tersebut, kita ambil saja misal satu kata bahaya. Apa yang bisa kita maknai tentang bahaya? Apa sebab kita mendapatkan sesuatu yang bahaya?
Lalu, apa efeknya jika sesuatu itu mengandung bahaya? Adakah bahaya itu sesuatu yang buruk ataukah sesuatu yang baik? Apakah bahaya itu sebuah ancaman kehancuran atau justru sebuah keselamatan?Â
Dari satu kata saja sudah banyak menimbulkan banyak pertanyaan, dan apakah Tuhan hanya berpihak pada salah satu sisi saja? Tapi tidakkah Dia meliputi segalanya?
Tentu saja itu bagus dan bermanfaat, apalagi untuk yang membuat kontennya. Semua memiliki kandungan kebaikannya masing-masing.Hanya saja, kekhawatiran subjektif saya terhadap fenomena ini adalah kita secara tidak langsung memanjakan, sehingga banyak generasi-generasi muda begitu pintar dengan model berpikir praktis dan pragmatis.Â
Secara verbal manusia model ini akan begitu memikat, tapi secara laku kita bisa melakukan pengamatan dan analisa sendiri, apakah selaras antara indah perkataan-perkataanya dan pola perilakunya?
Ya, itu hanya sebatas prasangka dan kekhawatiran yang secara naluri pasti tidak akan pernah bisa dihilangkan dari bagian kehidupan. Dan gambaran pola fenomena seperti ini memang mengarah pada ngendikanipun Kanjeng Nabi kalau pada akhirnya semua itu "hanya sebatas kerongkongan". Dan hal ini merupakan salah satu bagian dari tanda-tanda akhir zaman.
Kalau saya mendapatkan pilihan antara memaklumi dan memahami fenomena ini, maka saya akan lebih condong untuk memahami  segala sesuatu yang terjadi merupakan bagian keindahan.Â
Ketika saya mengambil pemakluman, seolah ada rasa tidak terima atas segala keadaan yang terjadi. Padahal, segala sesuatu yang khusunya "telah terjadi", adakah yang tidak melalui proses legalitas ijin-Nya? Lalu, kenapa kita mesti memaklumi takdiNya? Jika segala sesuatu ini baik dan indah!
Apakah dengan memaklumi, lantas kita menganggap ada yang tidak beres dengan keputusanNya? Apabila kesejatian itu dicari kita mesti lebih waspada, jangan terus merasa seolah-olah Tuhan sudah berada di pihak kita. Apalagi memaksa Tuhan untuk mengerti dan memahami hasil segala olah pemikiran kita. Lancang!
---
9 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H