Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menghikmahi Puasa dan Berbagi Kebahagiaan Menyambut Fitri

9 Mei 2021   20:35 Diperbarui: 9 Mei 2021   20:49 1306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto oleh @pieu_kamprettu

Mas Aam lanjut memberikan tanggapan bahwa di Maneges Qudroh sendiri secara tidak langsung banyak "wong poso". Sedangkan kita sekarang berada di jaman melampiaskan dan jika dilihat secara seksama tingkat kemaksiatan mungkin sudah berada di puncaknya. Dengan kekuasaan Tuhan, bisa saja Tuhan langsung meluluh-lantahkan segalanya, namun Tuhan pun masih berpuasa. Yang jadi pertanyaan bagi Mas Aam, kuda-kuda batin seperti apa yang mesti kita dibangun sebagai manusia?

Karena dianggap sudah cukup padat, Pak Adi kemudian mempersilahkan Gus Iwan untuk menanggapi respon dan pertanyaan dari dulur-dulur yang sudah hadir. Mulanya beliau menyampaikan bahwa oleh karena terlalu besarnya rahmat Allah Swt, kita sebagai manusia justru merasa hidup di bumi ini tanpa dosa. Memang yang agak bandel itu manusia dibandingkan ciptaan-Nya yang lain. Lantas puasa ini memiliki tujuan utama untuk mengembalikan manusia ke fitrahnya.

Gus Iwan juga mengkonfirmasi kalau keadaan sekarang manusia berada di puncak dosa-dosanya, semua kelakuan ummat terdahulu komplit. Tapi, beliau juga mengajak untuk tidak lupa dengan rasa syukur, misalnya masih bisa merasakan hidup berkumpul ngopi bareng seperti malam ini. Dan keadaan seperti ini merupakan salah satu keberuntungan menjadi ummat Rasul yang tidak didapat oleh ummat terdahulu. Oleh karena itu, Gus Iwan menyampaikan untuk terus-menerus menyampaikan sholawat dan salam kepada Kanjeng Nabi.

Di surga itu gambaran yang banyak dijelaskan dalam Al-Qur'an sisinya tentang kebahagiaan saja. Gus Iwan kemudian menyatakan bahwa keadaan di majelis Maneges Qudroh sendiri layaknya majelis puasa, seperti ketika semua melakukan tasbih dalam rangkaian Munajat Maiyah bersama di awal acara, bisa jadi itu menjadi salah satu alasan tertundanya keinginan gunung dan lautan ngebyuk njenengan. Allah Swt sendiri tidak pernah mengingkari janji-Nya, bahwa tidak akan terjadi kiamat sebelum ummat Islam merasa bahagia. "Kapan waktu itu?" tegas Gus Iwan. "Kelak ketika keluar imam di akhir zaman." lanjut beliau.

Lalu untuk apa kita ibadah, utamanya puasa kalau bukan untuk menegaskan tentang kesadaran akan mudik. Kembali ke kampung keabadian. Puasa ini menjadi salah satu media manusia untuk mampu mengendalikan tidak hanya sebatas akal, melainkan juga nafsu. Sehingga pada akhirnya menurut Gus Iwan, manusia akan mencapai suatu puncak tertinggi "radli-Allahu anhum wa radlu-anhu" (Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya).

foto oleh @pieu_kamprettu
foto oleh @pieu_kamprettu
Berlatih Berbagi Kebahagiaan, Bukan Penderitaan

Waktu sudah melebihi tengah malam, beberapa hiburan musik telah disajikan. Ada pula Pak Sholeh dengan puisinya berjudul "Pulang" sempat membuat para penikmat sastra sedikit terpana. Diiringi oleh Mas Piu dengan alat musik khas Pulau Borneo-nya, pembacaan puisi menjadi semakin syahdu memecah keheningan kagum yang menyeruak bisu dulur-dulur yang hadir.

Acara kemudian dilanjutkan dengan jendela respon ataupun pertanyaan.  Melanjutkan satu kelompok yang belum mendapat bagian, Pak Adi mempersilahkan Mas Topan untuk mewakili kelompok pemuda. Dengan mengambil hikmah dari beberapa tulisan Mbah nun, Mas Topan menyampaikan tentang anjuran terkait dengan i'tikaf. I'tikaf sebagai proses ritualisasi dengan berdiam diri, sedangkan dalam diam pun pikiran tetap bersliweran kesana-kemari. Adakah proses i'tikaf itu sendiri dilakukan tidak harus dengan berdiam diri, seperti pada rutinan kali ini bisakah kita juga menerapkan i'tikaf?

Lalu yang kedua, dengan suasana mudik yang dilarang. Bisakah kita menjadikan situasi ini menjadi tahap evolusi diri dalam perjalanan menyambut fitrah. Kalau mulanya Idul Fitri menjadi sebuah keasyikan silaturrahmi. Namun dengan keadaan yang ada, adakah kita mencari keasyikan silaturrahmi itu tidak kepada apa yang ada di luar diri, melainkan terhadap apa yang ada di dalam diri? Misalnya, berlatih mensilaturrahmikan akal dan hati. Sehingga, kita bisa terus memegang kesadaran puasa, mudik, dan fitri ini tidak sebatas pada rentang waktu tertentu saja.

Mas David, seorang tamu dari daerah Tangerang, juga diminta untuk memberikan kesan yang membuatnya sangat menarik. Utamanya dengan sholawat bersama di awal acara yang menurut Mas David sangat luar biasa dan membuatnya bahagia. Mas David kemudia juga menyampaikan keresahannya terhadap situasi zaman yang menurutnya tidak sesuai dengan keyakinan yang Mas David miliki, terutama kaitannya dengan agama.

Menanggapi kedua responden, Gus Iwan menyampaikan bahwa manusia itu memiliki naluri dasar selalu mencari kenyamanan. Jangan sampai ketika ada Corona, kesedihan semakin besar melanda diri. Manusia meski berjuang dan juga mengorbankan waktu seperti pada malam hari ini, untuk lebih mengisi kekosongan waktu dengan cinta. Kegiatan-kegiatan seperti ini menurut Gus Iwan menjadi salah satu cara untuk mengobati hati yang luka dan duka oleh keadaan apapun yang menimpa diri kita masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun