Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bedah Buku "Pemimpin yang Tuhan"

9 April 2021   16:32 Diperbarui: 9 April 2021   16:50 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[kiri-kanan] Bapak Suko Widodo, Cak Nun, Ibu Siti R. Arifah (dokpri)

Sinau Bareng Cak Nun dan BPK RI bersama Suko Widodo dan Siti R. Arifah via Zoom Meeting (Part 1)

Acara Bedah Buku diselenggarakan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pada hari Selasa Siang bersama Bapak Suko Widodo dan Cak Nun yang dibawakan oleh Ibu Siti R. Arifah. Acara ini dilakukan secara daring melalui Zoom Meeting pada hari Selasa (6/4) mulai dari pukul 09.00 s.d 12.00 WIB. Saya sendiri baru memiliki kesempatan bergabung ketika acara sudah sampai pada tengah perjalanan. Namun, itu sudah lebih dari cukup bagi saya untuk dapat mengambil sedikit buah ilmu pada waktu yang masih tersisa.

Saat itu, pembicaraan sedang membahas topik mengenai Al-Qur'an. Mbah Nun menyampaikan bahwa di Maiyah, setiap manusia mempunyai potensi dan kemungkinan yang sama untuk mengakses Al-Qur'an secara langsung. Yang sering disebut sebagai tadabbur. Tadabbur ini berbeda dengan tafsir yang biasanya terbatas pada orang-orang tertentu yang sudah dianggap ahli dalam hal penafsiran. Dengan tadabbur, setiap manusia bisa memaknai apapun yang mereka dapat dari Al-Qur'an. Karena yang diutamakan dalam tadabbur adalah mampu mengubah output akhlaknya semakin bertambah baik.

Proses perjalanan ini ternyata sudah sampai pada sesi tanya jawab dengan membuka 2 penanya sekaligus. Pertama dari M. Ivan Aulia, yang bertanya terkait bagaimana upaya pemimpin untuk membangun kejujuran? Lalu, apakah ada harapan untuk mengatasi permasalahan yang besar? Utamaya untuk menghadapi waktu ke depan; Kedua, Dhenny dari BPK Banten, menanyakan apabila semua orang hakikatnya adalah seorang pemimpin, bagaimana cara Cak Nun mendesain anak? Mas Dhenny juga meminta Cak Nun untuk memberikan tips dan masukan terkait bagaimana mendidik putra dan putri.

Mbah Nun merespon mulai dari pertanyaan kedua yang berkaitan dengan anak. Mbah Nun mengibaratkan ada jagung, padi, kedelai, kelapa, dsb, begitu juga dengan manusia. Beliau berpesan untuk mencoba mengenali pemberian Tuhan kepada anak. "Kalau Tuhan membuat kacang, jangan paksa menjadi jagung." kata Mbah Nun.

Mbah Nun mengaku tidak pernah men-set up atau mendesain anak agar menjadi seperti keinginan beliau. Yang pasti orang tua selalu mengajarkan untuk memberikan pelajaran tentang aqidah dan akhlak yang baik. Dan juga dilatih keteguhan serta tanggung jawab akan setiap apa yang akan dilakukan dan dikatakan oleh anaknya. Hal lain yang menurut Mbah Nun penting adalah kebiasaan untuk berdiskusi serutin mungkin agar terjadi penyatuan antara keluasan, kelembutan, dan mengasah kepekaan terhadap kedua hal tersebut.

Untuk menjawab soalyang pertama, Mbah Nun mengajak kita semua untuk mengerti terlebih dahulu bahwa puasa merupakan hakikat hidup manusia. "Apa yang kita tidak puasa?" Kita boleh makan 10 piring atau anda bisa kawin dengan 10 orang, tapi kita memiliki kecenderungan untuk hanya mengambil 1. Tidak ada perilaku dan peristiwa yang tidak kita puasai.

Pertanyaan terkait permasalahan yang besar terjawab ketika Mbah Nun mengatakan bahwa beliau sendiri belum bisa memahami keadilan-Nya. Itu hanya soal waktu. Kekayaan pun kita ketahui bersama bukanlah selalu soal harta. Jadi, tidak mungkin kita bisa merangkai ilmu untuk mengklaim bahwa keadaan sekarang ini dinilai adil atau tidak adil. Kita tidak akan pernah bisa mengukur kebesaran Allah. "Dan anda tidak usah cari kebesaran!" tutur Mbah Nun.

Pemimpin yang baik hanya ada dalam waktu yang terbatas, tidak mungkin abadi. Dan pemimpin yang baik pun juga tergantung kepada rakyat dan hukumnya. Kita tidak asing lagi dengan istilah "serangan fajar" ketika proses pemilihan pemimpin. Hal tersebut sedikit banyak menggambarkan bahwa rakyatnya pun menghina dirinya sendiri atau tidak menghormati dirinya sendiri. Tapi mengapa masih tidak terima dengan keadaan ataupun khawatir terhadap perubahan di masa yang belum diketahui?

Bagaimana jika Tuhan berkata bahwa Dia tersinggung pada hamba-Nya karena mancela waktu? Lalu, kita juga mesti waspada dengan keadaan yang dikira tenang-tenang saja. Mbah Nun kemudian menjelaskan ayat wa makaru wamakarallah (3:54) dan "aku tidak akan mengubah suatu kaum..." (13:11)

Mbah Nun kemudian menncoba bermain peta pemikiran dengan menyodorkan pertanyaan, "andaikan perubahan sudah terjadi dan kalau diteliti, perubahan yang terjadi karya manusia atau karya Tuhan?" Hal-hal ringan seperti ini menjadi salah satu ciri yang menarik dari Mbah Nun. Mengajak para pendengar untuk mentadabburi bersama sesuatu yang jarang terjadi pada lingkungan formal keagamaan lainnya. Hingga menjadi ciri dari sinau bareng yang selalu diutamakan oleh beliau.

Ketika akal sudah mencerna pertanyaan, "yang penting kamu ketok macul-macul, bersungguh-sungguhl dan kerja keras dalam menjalani kehidupan." tandas beliau. Subjek utama perubahan tetaplah Tuhan. Kita juga pasti sudah mendapat pelajaran bahwa jangan berputus-asa terhadap pertolongan Allah. "Keputusasaannya gapapa, putus asa itu wajar dan manusiawi. Tapi jangan tidak percaya kepada pertolongan Allah!" pungkas Mbah Nun.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun