Tak selang berapa menit, Bewol pun keluar, "maaf Lur baru selesai."
"Maafmu itu gak bisa buat martabak ini hangat lagi." jawab Rohmat agak sinis.
"Gapapa." jawab Gus Welly. "Tapi tumben sekarang kamu jadi agak tega sama kita." lanjutnya.
"Gak tega Gus, keburu hilang nikmatnya tadi. Sudah dikasih nikmat kok dibiarkan begitu saja." jawab Bewol sembari mengambil sajian nikmat berikutnya berupa martabak.
"Owalah, makanya tadi cengar-cengir sendiri. Ternyata sedang menikmati sesuatu to, tapi kamu pelit soalnya kita gak dibagi-bagi." sahut Rohmat.
"Mat, kamu tadi sudah masuk rumah. Kenapa hanya dengan lihat aku yang sedang cengar-cengir terus kamu malah jadi mrengut?"
Bewol pun kemudian menceritakan apa yang sedang dialaminya dan apa yang sedang dilakukannya karena takut kedua kawannya tersebut hanya berprasangka tidak sebagaimana mestinya. Meskipun kalau dibiarkan prasangka kedua kawannya itu beterbangan juga bukan merupakan sebuah masalah, akan tetapi Bewol lebih memilih untuk membatasi dan segera memberikan informasi kebenarannya.
Seperti yang Rohmat lihat, Bewol sedang menuliskan kata-kata yang dituliskannya sebagai sebuah wujud syukur atas banyak kenikmatan yang telah diberikan oleh Semesta kepada dirinya.Â
Bewol memberikan contoh martabak yang dibawakan oleh kedua kawannya ini juga termasuk salah satu nikmat, tapi tidak cukup kuat untuk mampu menggerakkan jari-jemarinya untuk lantas menuliskan kekuatan syukur yang dialaminya. "Karena sudah menjadi kebiasaan (saling membawakan martabak)." pungkas Bewol.
"Pasti nikmat yang datang karena perempuan, kan?" tebak Gus Welly.
"Kalau hanya masalah perempuan Wol, percuma kamu banyak bermain dengan kata-kata. Perempuan itu tidak butuh kata-katamu, dia hanya melihat dan merasakan apa-apa yang kamu lakukan secara langsung. Aktualisasikan nikmatmu itu secara langsung!" Rohmat mendadak menjadi sok bijak.