Selanjutnya masih ada aktivitas Baca Puisi dan juga berbicara 5 menit. Namun karena waktu yang terbatas, akhirnya hanya sebagian yang menjalankan aktivitas berbicara 5 menit lantas dilanjutkan dengan menikmati puisi yang telah dibuat oleh dulur yang hadir. Dan puisi yang tersaji pun diharapkan mampu menambah daya imaji dan juga intuisi di masa depan yang masih ghaib.
Sebagai penutup, semua saling berbagi apa saja yang telah didapati sekaligus masing-masing memberikan sumbangan closing statements. Satu diantaranya, "enak gak enak itu perlu kita paksakan kita latih untuk terima. Asalkan itu keadilan." Tentu saja kalimat singkat tersebut banyak menyiratkan makna yang menarik untuk dijadikan sangu kembali pulang.
Malam hari ini juga lebih banyak cermin, artinya jumlah kehadiran semakin bertambah. Meskipun beberapa, namun hal tersebut mampu menambah kejernihan cermin dalam kembali melihat diri. Baik atau tidak baik jangan sampai menjadi hal yang kontra produktif. Harus bisa lebih mepresisikan antara daya linuweh dan daya linuwih. Untuk bisa kita menempatkan di tempat yang pas dan adil untuk kita sendiri.
Kita mesti terbiasa untuk siap tanpa kesiapan. M3 sebagai ladang, harus intensional karena yang mengkonstruksi bangunan ini adalah kita sendiri. Ketidaksengajaan sangat mungkin akan menjadi ketagihan di dalam M3. Artinya, kalau melihat dari luar M3, adanya M3 itu nampak hanya sekedar main-main seperti biasa. Tapi yang dirasakan ketika terlibat langsung, "keseriusannya tidak main-main!" kata Mas Budi yang baru pertama kali mengikuti.
Acara pun berlangsung hingga lebih dari tengah malam. Acara yang diadakan di Sanggar Wening atau kediaman Mas Sigit itu tetap berlanjut meskipun secara resmi telah ditutup. Bahkan, keintiman menjadi semakin kental melalui obrolan-obrolan ringan, sembari menanti fajar.
-
Sanggar Wening, 12 Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H