Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Dulur Mutmainnah" dan Harapan Kolekitf

3 Februari 2021   23:55 Diperbarui: 4 Februari 2021   00:34 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: @pieu_kamprettu

"Sekarang kamu lagi punya harapan apa?"

Ketika salah seorang kawan tiba-tiba menanyakan hal tersebut, sepertinya saya mendapati kebingungan tersendiri. Sudah lama sepertinya diri ini menjerat diri dalam kekosongan. Kecuali hanya menanti isi, dengan kata lain saya hanya menjawab, "sepertinya saya sedang tidak memiliki harapan, kecuali menikah."

Berhubung karib saya tersebut juga belum menikah, lantas dia menimpali, "itu kan harapan pribadi, ada tidak harapan yang lebih kolektif? Kalau kita saling mengutarakan dan mendengarkan satu dengan yang lainnya, syukur-syukur ke depan kita bisa saling bersinergi untuk mencapai harapan itu bersama-sama."

Sepintas saya terpikirkan tentang harapan awal saya yang mulai pudar. Yaitu mengaitkan komunitas dengan lintas budayanya, cukup dalam area terbatas saja. Mungkin apa yang saya lakukan sampai saat ini pun tak bisa lepas dari usaha tersebut, salah satunya dengan menyediakaj diri untuk hadir dalam setiap ajakan yang saya terima.

Karena banyaknya lingkar-lingkar pertemanan, saya memprioritaskan kehadiran bukan berdasar tingkat intensitas waktu bertemu, karena seringkali itu hanya seperti pilih kasih dalam sudut anak-anak. Akan tetapi, saya lebih tertarik menggunakan ukuran siapa yang menagih diri saya terlebih dahulu.

Di samping itu, saya juga menyukai rutinitas sehingga lebih memudahkan agenda kegiatan diri sehingga memudahkan alur manajerial alokasi tenaga dan pikiran yang mestinya banyak tercurahkan.

Dari hal yang sedang diupayakan tersebut, ada konsekuensi yang pastinya tidak bisa lepas dari hitungan, yakni semakin berkurangnya waktu untuk beristirahat. Siang mesti mburuh, agar bisa membeli energi bahan bakar untuk kegiatan di malam harinya. Bayangkan saja, aktivitas seperti itu hampir dilakukan setiap hari selama 5 tahun. Terkadang saya jadi teringat lagu "entah apa yang merasukiku?", saat sedang mencoba untuk menengok waktu ke belakang.

Sedikit yang saya ceritakan itu sebenarnya menggambarkan ketidakmampuan saya, kebodohan saya, bahkan kekerdilan saya atas begitu banyak kekuatan, kecerdasan, ataupun kebesaran yang masih belum bisa aku dapati dan nikmati.

Kalaupun ada harapan kolektif, saya hanya ingin kebersamaan. Meskipun, kebersamaan itu jika keluar dari mulut saya sering diartikan karena kesepian.

Hanya saja ada kendala utama yang menjadi penghalang bagi saya untuk merajut tali-tali kebersamaan itu dari luar ataupun diri saya sendiri. Faktor dari luar bisa dikatakan, masing-masing lingkaran masih suka menganggap atau merasa bahkan kelompoknya adalah yang terbaik. Sehingga ada halangan untuk bisa mengikuti atau setidaknya sekedar belajar saling mendengarkan. Sedangkan dari dalam diri, kendala utamanya adalah dulur ke papat atau dulur mutmainah.

Kalau mendengar kata mutmainnah itu sendiri, sudah pasti pikiran kita akan mengarah ke sesuatu yang menenangkan atau selalu mawas diri. Tak jarang dulur mutmainnah ini tidak dipandang sebagai salah satu nafsu yang kurang baikbaik karena selalu mengarahkan ke perbuatan yang baik. Akan tetapi, kita sering lupa bahwa kebaikan merupakan sebuah persepsi yang diciptakan oleh penilaian manusia. Sehingga apa yang kita anggap kebaikan itu pun masih memiliki potensi keburukan. Apalagi kalau kita tidak terbiasa menghitung, kebaikan itu bisa jadi berbuah kesembronoan.

Contohnya saja, kita sering menyatakan kata sabar di hadapan orang-orang terhimpit keadaab, sedang kondisi diriyang dalam keadaan serba terpenuhi. Kita sering mengatakan keseimbangan di depan orang-orang yang terpojok, sedangkan diri dalam keadaan yang serba cari aman. Intinya kita pun mengajak kebaikan, sedang diri lupa akan keingkarannya, terutama saya. Dan masih banyak hal-hal yang masih perlu banyak dipertimbangkan atau dihitung dari pikiran, sebelum mengeluarkannya menjadi ucapan atau kata-kata.

Hingga akhirnya harapan itu akhirnya tertelan atau mungkin menghilang dari kata-kata. Hingga upaya atau usaha yang masih tersisa tanpa banyak kata. Karena untuk menyatukan, syarat utama harus selesai dengan perbedaan. Jika perbedaan masih enggan terselesaikan dan langsung berkeinginan menyatu, maka tunggulah.

Benar jika batas itu untuk mengetahui kemerdekaan. Lalu, kapan kita memiliki keberanian? Batas itu ada untuk dilewati, karna batas itu juga berlapis-lapis. Dan, tidak mungkin kita bisa menghindari sakit-sakit yang ditimbulkan baik karena gesekan atau benturan ketika melewati batas.

Di situlah saya banyak menanam kuda-kuda diri. Saya lebih suka mempersiapkan benih daripada menabur benih. Harapan saya, semoga saya dapat terus membersamai benih-benih itu tumbuh besar, bahagia, dan merdeka dengan dirinya. Apapun itu!

"Apakah kamu takut? Bukannya kamu sering bilang bahwa harapan itu ada karena takut?" tanya karib saya. "Ya, saya takut kita tidak bisa tetap bersama-sama seperti ini esok sedia kala."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun