Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Merasa) Menjadi Wakil Tuhan

11 Januari 2021   16:17 Diperbarui: 11 Januari 2021   16:19 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, ketika Gus Welly dan Bewol sedang kopi darat, datanglah Rohmat dengan mimik yang tidak biasa. Rohmat yang biasanya terlihat ceria, namun kali ini dia datang dengan mbesengut.

"Kamu ini kenapa , Mat?" tanya Bewol.

"Sudah jelas gesture tubuh seperti itu menandakan kalau dirinya baru saja mengalami kekecewaan." canda Gus Welly.

"Ngawur kamu, Gus! Gini ini yang membuat ana-anak mudah congkrah, jangan mudah menilai seperti itu sebelum tabayun dulu ke orangnya. Dipastikan, dicari, dan dikonfirmasi terlebih dahulu." kelit si Rohmat.

"Sami'na wa 'atho'na, Yai Rohmat nan bijaksana!"

Mereka bertiga sudah memiliki intensitas waktu bersama yang sangat banyak. Interaksi dan komunikasi di antara mereka bertiga pun sudah dapat dipastikan bahwa tiada hari yang terlewatkan untuk saling sapa di antara mereka bertiga. Dari kebiasaan itu akhirnya mereka saling mengetahui dan memahami karakter masing-masing.

Secara tidak langsung, di antara mereka sudah banyak merekam data sifat-sifat yang biasa didapati. Jadi mau bagaimanapun, untuk saling berpura-pura di antara mereka bertiga sudah pasti terbaca. Kalaupun didapati kepura-puraan, sudah pasti secara tidak langsung salah satu yang menunjukkan kebiasaan itu sedang membutuhkan atensi atau pertolongan, namun terkendala rasa sungkan.

Hal itu lah yang terjadi kepada si Rohmat yang berpura-pura berkelit menyembunyikan wajah mbesengut di depan para karibnya. Tapi, berhubung Bewol dan Gus Welly peka dan sigap membaca situasi, dengan data gelagat yang ditunjukkan oleh Rohmat, maka mereka juga memiliki formulasi atau celah untuk dapat memberikan hiburan atau mbombong si Rohmat.

"Jadi orang tua itu berat, melihat anak-anak muda zaman now yang sudah pada pintar membuat alasan." Rohmat akhirnya membuka keresahannya. "Saya sudah banyak makan asam garam tentang kehidupan, tapi masih juga disepelekan." lanjutnya.

"Lhoh, memang masalahnya apa to?" tanya Bewol.

(Rohmat tak menjawab dan hanya diam selama beberapa saat)

"Sudah gini aja kalau sungkan untuk bercerita, konteks permasalahannya itu apa? Apakah anak itu membantah atau melawan? Atau anak itu punya inisiatif lain yang berbeda dengan nasihat yang kamu berikan?" jelas Gus Welly.

Rohmat pun kembali menampakkan muka mbesengut-nya sembari mengatakan bahwasanya dirinya mengetahui andaikata nasihatnya tidak dipatuhi akan berakibat pada sesuatu yang bisa saja mencelakakannya. Kalau aku tidak cinta mana mungkin aku memberikan nasihat demi kebaikan dan keselamatan dirinya.

"Apa kamu sebenarnya hanya ingin dihormati karena telah merasa mengetahui? Sedang yang kamu wujudkan ketika tidak mendapati rasa hormat itu bukanlah kedewasaan, melainkan kekanak-kanakan. Terlebih dengan muka masam yang kamu ekspresikan." kata Gus Welly.

"Kalau mengambil kata dari Kahlil Gibran yang kurang lebih mengatakan bahwa kewajiban orang tua itu bukan menentukan anak akan menjadi apa, melainkan kewajibannya adalah terus-menerus memberikan kasih sayangnya. Justru dengan keadaanmu ini, kamu seharusnya bisa banyak belajar kalau ternyata rasa sayangmu masih bersifat transaksional." terang Bewol kepada Rohmat.

Rohmat yang notabene lebih tua dari Bewol dan Gus Welly pintar saja berkelit dan mencari alasan untuk menjaga harga dirinya. Sekalipun upaya yang dilakukannya hanya akan menunjukkan banyak pembelaan diri, yang justru menunjukkan taksir akan harga dirinya sendiri.

Tapi, di antara mereka bertiga sudah terbangun kemesraan dan hubungan yang sudah sangat terikat erat. Pembicaraan satu dengan yang lainnya meski dilakukan secara gamblang tidak akan membuat kadar cinta di antara mereka bertiga pudar. Justru mereka menyadari bahwa inlah manfaat utama kebersamaan, untuk dapat saling menasihati dan memberi peringatan akan tingkah laku atau kebiasaan yang kurang tepat.

"Apakah semakin kita tua usia kita menandakan kedewasaan ilmu yang terkadang justru menjebak diri untuk seolah-olah sudah merasa berhak menjadi wakil Tuhan? Ketika kebiasaan kita hanya lebih mudah melihat kesalahan daripada kebaikan, kekurangan atau kelebihan, sehingga yang akan tertuju dan teringat hanya keburukan.  Seolah dirinya memiliki kuasa untuk menutup pintu-pintu kemungkinan hidayah yang tersebar amat luas?"

Sudah jelas rumus sederhananya, apa yang kita anggap benar belum tentu sama di mata Tuhan, dan apa yang buruk di mata kita justru baik di mata Tuhan. Kecuali kalau kita memang terlewat batas sehingga merasa dirinya adalah wakil Tuhan. Padahal, pemetaan kemungkinan-kemungkinan untuk membaca keadaan masih sangat minim. Yang nyatanya justru menjadikan hati lebih sempit.

Saat ini kita masih bebas karena masih mendapati banyak perlindungan dan dukungan. Akan tetapi, suatu saat kita tidak akan bisa mengelak dari amsal kehilangan dalam perjalanan kehidupan. Yang mendewasakan, yang lebih banyak memberikan makna untuk lebih menghargai saat memiliki yang terajut dalam kebersamaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun