Suasana sinau bareng di tempat umum yang selama masa pandemi ini tidak bisa didapati, setidaknya sedikit terwakilkan dengan alunan nada atau musik yang identik dengan maiyah, yang mampu sedikit mengurangi kerinduan yang terpendam sebelum datang ke rutinan ini.
Mas Taufan sebagai pembawa acara membuka dengan memberikan sapaan-sapaan atas dulur-dulur yang telah hadir. Kemudian dilanjutkan memberi sedikit penjelasan terkait dengan "Sawang Sinawang" yang dijadikan tema pembelajaran malam hari ini.Â
Sebelum menjelaskan, Mas Taufan mencoba untuk menegaskan, "Apakah ada tema-tema yang selama ini ditampilkan dalam rutinan ini, belum atau tidak pernah disampaikan oleh Mbah Nun? Terus apa tujuannya kita berkumpul disini kalau hanya remidi atau mengulang?"
Mas Adi sebagai moderator menambahi dengan banyak menyampaikan contoh-contoh tentang sawang-sinawang. Bahkan beliau juga menceritakan bagaimana kalimat-kalimat bijaksana ini sering didapati di jalan raya, utamanya di bagian belakang bak truk.Â
Mas Adi mencoba masuk melalui pertanyaan yang tertulis di akhir mukadimah "apakah kita bisa mengendalikan prasangka yang terlintas begitu saja? Kalaupun segala bentuk prasangka itu sebatas 'sawang sinawang', apakah itu bisa dijadikan parameter kebenaran?"
Sebagai orang jawa, kita memiliki istilah ngelmu iku kelakone kanthi laku. Dalam mencari ilmu kita sering merasa telah mengetahui, namun rasa mengetahui akan ilmu itu tidak akan melekat sebelum menjadi sebuah laku atau aktualisasi diri.
Ilmu itu mungkin saja sama, namun rasa mengetahui dari tiap-tiap individu itu memiliki cita rasa yang berbeda. Rasa juga sulit didefinisikan menjadi satu pemahaman.Â
Akan tetapi, yang terjadi rasa itu sering dipaksakan sama. Dari rasa yang telah dimiliki pasti akan menghasilkan prasangka ketika menapaki waktu menunggu diterima atau tidak, terlebih karena telah dibekali oleh ilmu yang dirasa dudah didapati. Hal ini sangat umum terjadi pada manusia karena sejatinya kita adalah makhluk sosial.
Mengingat apa yang telah diberikan oleh Mbah Nun, bahwasanya beliau pernah berpesan bahwa hidup itu hanya urusan haq dan dhon. Sedangkan kebenaran tiap manusia itu berbeda-beda.Â
Orang tidak boleh berdebat dalam kebenaran, kecuali dalam konteks akademis dan keilmuan. tapi tidak boleh dalam budaya silaturahmi. Haq itu bukan milik manusia.Â
Allah Swt. tidak pernah menyuruh kita untuk mempertandingkan kebenaran, akan tetapi Allah Swt. menyuruh kita untuk berlomba-lomba menciptakan kebaikan.