Respon jawaban datang dari Mas Topan dengan tidak mengindahkan orang yang dirasa sesepuh dan lebih memahami. Mas Topan menjawab dengan bermain permainan imbuhan kata dalam pelajaran bahasa sewaktu SD. Menurutnya, cinta itu tidak lagi murni ketika kita menambahkan tendensi seperti kita memberi kata cinta dengan imbuhan. "me-cinta-i" dan "me-cinta" dalam pelajaran bahasa indonesia memiliki berbeda. Imbuhan "me-i" memiliki arti saling, yang berarti membutuhkan 2 subjek, sedangkan imbuhan "me-" berfungsi untuk mengubah kata sifat menjadi kata kerja. Jika dilafalkan kepada suatu objek antara kedua kata (mencintai dan mencinta) pasti akan memiliki kedalaman rasa yang berbeda.
Menurut Mas Topan, cinta kita masih sangat transaksional jika masih melihat sesuatu yang mencinta dan dicinta. Cinta kita masih banyak tendensi dan harapan untuk mendapatkan balasan. Bahkan, menurut Mas Sabrang, kalau kita mencintai seseorang, sebenarnya kita cinta terhadap orang tersebut apa cinta kepada diri sendiri?Â
Lantas ketika tidak mendapatkan balasan apakah masih terjaga rasa cinta tersebut? Cinta ya cinta saja, oleh karena itu laku kejujuran, kelembutan, dan ketulusan akan menjadi wujud kedalaman memberi makna tentang cinta. Bahkan Allah sendiri memiliki asma Al-Waduud atau Sang Maha cinta, kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, maka sudah pasti kita menjadi jatuh cinta dan tergila-gila.
Atau jika kita benar-benar pengikut Nabi, ada 4 fase yang harus ditapaki jika mengambil pelajaran dari salah satu Marja' Maiyah Syaikh Kamba. Kita mesti melatih independesi diri, melakukan penyucian diri, arif dan bijaksana, amanah, baru memasuki fase yang terakhir yakni cinta. Atau dalam buku beliau "Kids Zaman Now", cinta atau muhabbah berada dalam fase keenam dengan urutan syariat, tarekat, hakikat, makrifat, mukasyafah, muhabbah, lalu penyatuan dengan Sang Pencipta (wahdatul-wujud).Â
Alhamdulillah, Maneges Qudroh masih disediakan ruang kebersamaan ini untuk terus saling menasihati dalam mencari kebenaran dan saling menahan diri dalam menapaki tangga kebenaran menuju kesejatian secara berjamaah. Acara pun melebur hingga lebih dari tengah malam. Segala pembelajaran terkait rasa dan cinta disimpulkan oleh moderator untuk dapat mengambil kesimpulan sendiri-sendiri. Semua ilmu yang terpancar layaknya cahaya yang menerangi ataupun buah yang silahkan dipilih sendiri kenikmatannya.
Setelah ditutup dengan sholawat dan pembacaan doa, sedulu-sedulu masih enggan untuk beranjak pulang. Semua nampak melanjutkan pembelajaran yang didapat dengan lingkaran kanan-kirinya. Sembari menambah keintiman dan memperkuat tali silaturrahmi dalam majelis paseduluran ini.
***
Panti Cahaya Ummat, 6 Desember 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H