Akhir-akhir ini, wilayah Magelang sedang mesra-mesranya dengan hujan. Setidaknya nama Bulan Desember sendiri kalau dalam falsafah Jawa, ada yang mengartikan sebagai gedhe-gedhene sumber (sedang besar-besarnya sumber/air). Dan keadaan ini pun menjadi pilihan, antara ujian atau keberkahan selagi hujan yang selalu menyapa jelang diadakannya Selasan di tempat Mas Harjo, Dusun Sadegan, Tempuran.
Namun, hal itu sepertinya tidak menyurutkan beberapa sedulur yang telah menguatkan niat di setiap Selasan. Bahkan, dalam pengantar yang disampaikan oleh Mas Taufan sebelum acara wirid dan sholawat dimulai. Selasan ini bisa menjadi sebuah hari raya jika diproyeksi dalam rentang skala waktu mingguan. Selasan menjadi titik fitrah dan mengumpulkan energi sebelum harus banyak berpuasa atau menahan diri di hari-hari lainnya.
Jika Mbah Nun pernah menuliskan bahwa untuk menjadi manusia yang memiliki moral yang diperlukan keseimbangan antara intelektualitas, mentalitas, dan spiritualitas. Maka, Selasan ini juga menjadi tempat untuk menguatkan terus mengolah aspek spiritualitas. Di antara kepungan zaman yang mendorong kemajuan intelektualitas dan kebrutalan fenomena mentalitas. Yang bahkan, akhir-akhir ini mulai menggerogoti aspek spiritualitas yang semakin terhijab nilai-nilai kemurniannya. Harapannya, Selasan selalu menjadi tempat untuk melakukan revolusi spiritual secara bersama-sama.
Setelah selesai memberikan pengantar, Mas Taufiq segera mempersilahkan para "pilot" untuk segera memposisikan dirinya. Istilah pilot ini bukan berarti mereka memiliki profesi sebagai pengemudi pesawat terbang, melainkan para pilot ini akan segera memainkan "terbang"-nya (rebana dalam istilah jawa). Hal ini unik dan baru pertama kali ini para pilot ini membersamai Selasan, setelah beberapa minggu terakhir intens melakukan latihan.
Dan sepertinya para pilot terbang ini juga harus memiliki skill dan kedisiplinan tertentu. Sama seperti istilah pilot pada umumnya, ada tanggung jawab yang dipegang sehingga harus taat pada aturan-aturan tertentu. Jika pilot pesawat bertanggung jawab atas nyawa para penumpang selama di udara, sedangkan pilot terbang bertanggung jawab agar tidak merusak suasana dan keindahan yang telah terbangun sebelum mereka memainkan terbangnya.
Ada keindahan baru yang tercipta berkat kehadiran para pilot ini. Titik kebahagiaan baru ditemukan dengan sebuah hiburan baru yang disajikan. Kebahagiaan yang hadir alangkah baiknya segera disikapi dengan bijak, karena di sisi lain kebahagian tersebut juga turut berpotensi menyurutkan tingkat spiritual yang selama ini ditapaki. Terlebih dengan bunyi tek-dung tek-dung yang riuh bersaut-sautan.
Mungkin intensitas niteni diri perlu lebih ditingkatkan, apakah nantinya hanyut terbawa keriuhan sehingga kehilangan diri, atau justru dalam keriuhan tersebut bisa menjadi simulasi "topo ing ngrame"? Tentu, perjalanan Selasan di minggu-minggu berikutnya akan semakin menarik. Bahkan, berkat kehadiran pilot ini, waktu terasa semakin cepat berlalu.
Ada seorang bijak pernah berujar, apabila kamu terlalu menikmati keadaanmu sehingga waktu terasa berlalu semakin cepat. Itu merupakan sebuah peringatan bahwa kamu telah mencintai sesuatu dan nyaman bersamanya, khususnya dunia.Â
Menurut Sayyidina Ali ra. waktu ibarat bilah pedang yang siap menikam kita kapan saja. Oleh karena itu, kehadiran pilot juga bisa dimaknai untuk lebih meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan diri terhadap segala kemungkinan.
Sekitar pukul 23.30, kegembiraan itu pun usai ditandai dengan doa bersama. Magnet kedua yang memantik kehadiran sudah disajikan oleh Mas Harjo. Sembari menikmati hidangan tersebut, semua berbagi kebahagiaan yang didapati selama acara berlangsung tadi. Maturnuwun.
***