Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Betapa Kerdil Rasa Syukurku!

5 November 2020   16:27 Diperbarui: 5 November 2020   16:34 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mangli, Magelang/dokpri

Kembali ke awal tujuan hidup sejenak jika titik pusat tujuan hidup itu ridho Allah. Ridho itu sendiri merupakan sebuah keadaan yang bisa datang dan pergi, maka kita harus mengupayakan supaya keadaan ridho tersebut tidak pergi. 

Dan menjadi usaha bagi kita untuk terus menjaganya seperti menumbuhkan sebuah pohon, kita mesti menyirami, memberinya pupuk, merawatnya supaya menghasilkan bunga yang indah atau buah yang manis.

Jika tujuan hidup memiliki titik pusat, begitu pula upaya untuk mencapai tujuan itu pun memiliki titik pusat pula. Belajar dan melakukan yang terbaik merupakan sebuah perbuatan. 

Tawakkal, sabar dan syukur merupakan sifat atau jalan. Sedang ilmu hati bisa diibaratkan sebagai hakikatnya. Dan yang menggerakkan itu semua adalah jiwa kita.  Upaya untuk mencapai jiwa yang ridho ada tiga hal menurut Rasulullah Saw., yaitu dirikanlah shalat, seringlah membaca Al-Quran, dan mendatangi majelis-majelis dzikir.

Di era modernitas ini dengan segala hingar bingarnya, kita bisa melaksanakan shalat lima waktu secara tertib itu sudah menjadi pencapaian yang luar biasa. Dengan segala bentuk godaan keduniawian dan kesibukan aktivitas pekerjaannya, bisa meluangkan sedikit waktunya untuk melaksanakan kewajiban shalat, menjadi sesuatu yang sangat berat di zaman sekarang dibandingkan dengan zaman dahulu. 

Untung, Kanjeng Nabi bisa menawar sampai yang wajib hanya lima waktu, bayangkan coba kalau Kanjeng Nabi tidak menawar dan harus shalat puluhan bahkan ratusan rakaat setiap hari. Hidup hanya untuk sembahyang tidak sempat memikirkan yang lain selain Allah. 

Tidak ada pasar, tidak ada sekolah, tidak ada mall, karena semua sibuk dengan ibadahnya masing-masing. Itulah kebaikan Rasulullah Saw. dengan menawar karena membuka kesempatan pekerjaan bagi para setan untuk menyalurkan keahliannya, yaitu menggoda manusia.

Kanjeng Nabi aja baik terhadap setan, apalagi terhadap umatnya. Kanjeng Nabi tahu kalau hanya dengan bantuan setan lah iman umatnya itu pada akhirnya teruji dan terbentuk. Kita harus berterima kasih kepada setan yang tak pernah lelah ia memberikan cobaan, bukan malah takut kepada setan apalagi memusuhinya. 

Kita rangkul setan karena kita tidak pernah bisa mengalahkannya sampai akhir hayat. Semakin kuat iman kita, maka setan juga akan datang semakin kuat. Jadikan setan itu teman hidup bukan menjadi musuh, teman yang selalu menjadi sparing partner kita untuk mempertebal iman. Jadi dibalik kebaikan Rasulullah Saw. kepada setan, tersimpan manfaat yang begitu besar kepada umat yang sangat dicintainya.

Shalat yang diibaratkan sebagai tiang keimanan, bagaikan benang layang-layang yang selalu menjaga layang-layang tetap tenang di angkasa walaupun diterpa angin yang begitu kencang. 

Jika dimensi dan luasnya waktu bisa dipersempit, sholat bisa kita ibaratkan seperti puasa Ramadhan. Puasa untuk meninggalkan sejenak segala kesibukan aktivitas untuk menghadap Allah. Sehingga setelah itu kita bisa merasakan idul fitri kecil seolah kembali fitrah setelah sholat. Terjadi kesegaran pikiran dan batin lagi, seperti habis di-refresh tubuh kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun