Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasta Kerinduan

3 November 2020   16:30 Diperbarui: 3 November 2020   17:36 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika hati sedang dibuat murung oleh keadaan, rasa rindu selalu datang dan menjadi pelipur terbaik. Meski ia tak lantas dapat mengeringkan hamparan tanah basah seusai hujan mereda. Atau mungkin saja ketika kerinduan itu datang, hujan akan semakin merasa nyaman sehingga kemesraan akan semakin memuncak tanpa ada yang harus pergi.

Dan ternyata kerinduan itu pun memiliki kasta atau tingkatan-tingkatan. Seperti apa tingkatan-tingkatan itu sebenarnya masing-masing dari kita pasti mengalaminya. Karena kita memiliki bekal cinta. 

Engkau mungkin merasa rindu kepada seseorang. Pertama-tama yang akan diusahakan adalah sebisa mungkin dapat melihatnya secara langsung. Ketika hal itu tidak mampu terwujud, kita bisa menyapanya melalui pesan tertulis yang semakin dimudahkan seiring berkembangnya teknologi. Bahkan, teknologi mampu mewujudkan keinginan yang pertama meski jarak menjadi sekat.

Dengan teknologi, yang mustahil menjadi memungkinkan.

Yang paling menarik ketika kerinduan itu begitu mencekam, namun kita memilih berpuasa atas kehendak untuk segera menuntaskannya. Dengan memilih untuk tidak menatap atau tidak menyapa, bahkan tanpa kata. Ya, pada akhirnya aku memilih untuk berpuasa atas rasa rindu itu sendiri. Saat dia menjadi pelipur terbaik, justru aku berpaling darinya dan mungkin akan terlihat seperti orang bodoh.

Kepada manusia, kita pun melakukan banyak perhitungan untuk mengambl jalan pembuktian. Padahal, itu bisa menjadi media latihan untuk melatih kerinduan kepada Yang Maha Merindu. Bagaimana mungkin aku memiliki rasa rindu, jika rindu yang terasa pun telah Kau ijinkan untuk singgah di kehinaan ini.

Kita tak sadar sering mengobral kata rindu bahkan cinta, namun kelakuan kita sama sekali tak mencerminkan itu. Terlebih jika kita menapaki tingkatan rindu yang pertama, diri akan selalu menuntut untuk menatap kekasih. 

Kecuali jika keadaan pada saatnya akan mengajarkan tentang arti kehilangan. Setelah kehilangan, kita pasti juga dipertemukan oleh ketidaksetiaan atau pengkhianatan. Karena sang kekasih masih ada, maka keadaan memaksa diri untuk menahan tatap dan sapa,

Bisa saja kita marah dan membiarkan nafsu menguasai diri untuk melampiaskan amarah-amarah. Menatapnya untuk mengumbar segala dendam karena telah merasa dikhianati. Lalu, apakah cinta itu masih terjaga? Kerinduan pada level ini akan banyak mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan tentu bagi mereka yang sudah berpasangan.

Dan terakhir, ketika segala cinta menyeruak ke sumbernya. Rasa rindu pun demikian. Ia bermanifestasi menjadi apapun dan kapanpun hingga benar-benar menjadi pelipur dan pemberi semangat terbaik. Sang kekasih tidak pernah mewujud, tidak pernah menyapa, dan absurd. Keabsurdan ini lebih dari sekedar pengkhianatan. Ia benar-benar tak mau atas diri yang masih banyak menyimpan kedzaliman. Ia benar-benar membutuhkan pembuktian yang tidak hanya membutuhkan kesabaran dan keikhlasan. Ia menginginkan pengorbanan.

Sampai titik inilah engkau akan benar-benar memahami bahwa mengingat mati benar-benar akan menajdai nasihat terbaik. Bahkan pesan bijak seperti "hiduplah seperti orang yang sudah mati" benar-benar seperti bukti pengorbanan yang mesti dijalani. Karena oleh karenanya, engkau disucikan dari segala tendensi yang sudah meracuni diri.

Untuk menjaga rindu, lebih baik tak usah kau tanyakan kepadaku berapa usia rindu yang sudah terpelihara. Kalaupun kini engkau yang aku rindu, aku pasti menyembunyikannya supaya engkau tak mengenalnya. Dan aku tidak pernah berusaha untuk mengendalikan rasa yang dilimpahkan. Aku selalu berusaha menikmatinya, terlebih jika itu menyayat-nyayat menjadi sesuatu yang menyakitkan.

Ya sakit-sakit yang datang sering membuatku tersenyum, meskipun di sisi lain semakin mendatangkan hujjah karena dianggap menyepelekan. Meski apa yang membuat tersenyum sebenarnya adalah kehadiran sosok-sosok yang banyak mengajarkan tentang rindu dan membagikan kehangatannya. Penantian itu tertunaikan dengan kehadiranmu, dan pada waktu itu pula hati selalu memberanikan diri berbisik, "Kasih, sediakah engkau tinggal?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun