Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nggresulo atau Maido Khasanah

22 Oktober 2020   16:24 Diperbarui: 22 Oktober 2020   17:02 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama kita memegang berani memegang komitmen, kesetiaan menjadi laku yang mewujud dalam perilakunya. Di dalam kehidupan, semuanya akan menemui betapa dinamisnya jalan yang mesti ditempuh. 

Begitu juga dengan kesetiaan. Jangan sangka jika memegang kesetiaan, kedamaian akan menjadi buah yang akan dipetik. Justru sebaliknya, godaan perpisahan akan menjadi hal yang sering ditemui ketika kita memegang kesetiaan.

Kita hidup mencari kedamaian ataupun ketenangan. Tapi bukankah kedamaian itu seperti sambaran kilat dalam kehidupan? Padahal, siang dan malam telah banyak dihabiskan demi mencapai sebuah ketentraman. Mungkinkah kita bisa memelihara kilatan itu di dunia ini dan menjadikan ketentraman itu menjadi sebuah tujuan?

Sekalipun di permukaan kita sanggup memanipulasi rupa dan laku seolah-olah ketentraman itu telah didapatkan. Akan tetapi, batin akan terus bergejolak. Nggresulo atau mengeluh terhadap keadaan yang mungkin tak kunjung membaik.

 Seseorang pernah datang kepada Nabi Muhammad dan berkata, "Saya mencintai Engkau."

"Berhati-hatilah atas perkataanmu," jawab Nabi.

Sekali lagi lelaki itu mengulang, "Saya mencintai Engkau."

"Berhati-hatilah atas perkataanmu," Nabi memperingatkan kembali.

Tetapi ketiga kali dia mengatakan, "Saya mencintai Engkau."

"Sekarang diam, dan teguhkanlah," Jawab Rasul, "karena aku akan membunuhmu dengan tanganmu sendiri. Sengsaralah engkau!"

Jika kita telah mencoba mengenal, memahami, dan setia terhadap Kanjeng Nabi. Untuk menggapai cinta sebelum mengalami proses penyatuan, ada jurang dan tebing pengorbanan yang mesti ditapaki. Mungkin itu yang dimaksud kata-kata cinta itu akan membunuh dengan tangan kita sendiri dan menjadikan kita sengsara.

Beruntung, kita telah mengenal agama. Agama merupakan pengabdian. Sekalipun diri banyak nggresulo, agama akan menuntun pribadi diri untuk tetap mengaktualisasikannya dengan kebaikan.

Pada zaman Rasullullah seseorang pernah nggresulo, "Saya tidak menginginkan agama ini. Atas Nama Tuhan saya tidak menginginkannya. Ambillah agama ini kembali! Bahkan sejak masuk ke dalam agamamu ini saya belum pernah memiliki satu hari pun yang dipenuhi kedamaian. 

Saya kehilangan kemakmuran, kehilangan istri, tidak memiliki anak yang masih hidup, tidak memiliki kehormatan, kekuatan, atau hasrat yang masih tertinggal."

Kanjeng Nabi menjawab, "Kemana pun agama Kami pergi, dia tidak akan kembali hingga menarik seseorang keluar dari akarnya dan menyapu bersih rumahnya. Tidak satu pun akan menyentuhnya, kecuali mereka yang bersih." (56 : 79)

Selama kita memegang komitmen dengan agama sebagai bentuk pengabdian, selama itu pula pengorbanan akan selalu datang untuk memisahkan. Kita mungkin tidak sadar bahwa diri kita terlalu fokus pada sesuatu selain Dia. Syaikh Kamba sendiri dalam tetesnya juga menyampaikan tentang indikasi adanya penumpang gelap dalam agama.

Jika dalam mencintai ternyata masih tertinggal setitik ego di dalam diri, bagaimana mungkin kita akan mencapainya? Bisakah Sang Kekasih menerima cinta yang masih penuh berbalut nafsu dan syahwat? 

Bahkan kedamaian dan ketentraman justru engkau manipulasi dan dipakai senjata untuk mengajak sejawatmu memblokir rahmat yang begitu banyak tercurah.

Seseorang berkata, "Ya Muhammad, cabutlah agamaku, karena aku tidak menemukan kedamaian!"

"Bagaimana mungkin agama kami membiarkan seseorang lepas sebelum membawanya sampai ke tujuan?" demikian Rsulullah akan menjawab.

Agama tidak mengajarkan keputus-asaan hingga sampai membawanya mencapai tujuan. Dan berusaha memisahkan dari sesuatu  apapun yang menjadikan diri terhalang untuk mencapai kedamaian itu. Sekalipun melalui permasalahan-permasalahan yang tak kunjung usai.

Nabi Muhammad pernah memberikan nasihat tentang alasan kita tidak menemukan kedamaian dan terus terjebak dalam duka-cita. Duka itu sendiri tak lebih dari sekedar muntahan atau bisa dibilang sebagai nggresulone awak. 

Sedangkan cita sering mewujud dalam istilah yang sering kita sebut maido khasanah. Kita sendiri perlu banyak belajar banyak niteni tentang kapan nggresulo atau maido khasanah tersebut dirasakan.

Dan terimalah penderitaan itu demi dunia selanjutnya. Jika kedamaian laksana sambaran kilat, begitu pula dengan penderitaan. Baik dari kedua sisi itu pula, kita akan merasakan bahwa tidak ada sesuatu yang sia-sia. Terlebih demi menggapai cinta, duka-cita akan menjadi pengalaman yang sewajarnya.

Lantas, bagaimana kita memegang kesadaran akan duka-cita tersebut? Sedangkan diri memiliki naluri yang condong untuk mencari keamanan dan keselamatan. Tapi demi cinta, masih sengsarakah engkau?

***

22 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun