Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena Aku Hanya Melihatmu

15 Oktober 2020   16:22 Diperbarui: 15 Oktober 2020   16:25 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya aku juga tidak mengerti darimana dan kapan rasa itu tumbuh ketika tatapan matamu menitipkan pertanyaan tentang hal tersebut. Hanya saja, aku sudah terbiasa untuk membagi-bagikan rasa itu kepada yang membutuhkan. Meskipun sebatas kehadiran, atau menemani kesunyiannya dalam relung sepinya kebersamaan.

Kebahagiaan itu selalu datang tanpa memberi tanda akan sapaannya. Sekalipun di sepanjang jalan ini telah banyak yang menawarkan buah kebahagiaan yang sama, hanya dua buah yang tidak bisa aku memintanya dan mengharapkan keberadaannya. 

Sehingga aku hanya bisa menanam biji-biji pemberiannya, tanpa mengharapkan akan memanen buahnya. Berharap nantinya akan banyak yang cukup merasakan nikmatnya, tanpa perlu mengetahui awal kenikmatan yang dirasakan.

Aku tidak pernah sanggup membalas, sekalipun diriku telah dipenuhi denganmu, olehmu, dan untukmu. Karena belum tentu dirimu akan menerima dan senang akan pembalasanku.

Mungkin bisa sebaliknya, kamu justru merasa risih jika aku memberikan hal yang sama seperti yang engkau berikan. Dan yang aku tahu pasti, kamu tidak membutuhkannya.

Dan kalaupun engkau membutuhkannya, engkau akan terus tinggal disini. Sementara aku justru membiasakan berkeliaran dalam kegelapan karena konon dalam kegelapan itu air kehidupan akan ditemukan. Bagaimana aku akan mengajakmu kepada sesuatu yang tidak mengenakkan dan berharap engkau tinggal dalam ketidakenakan tersebut?

Aku ingin kau terus saja membalikkan punggumu, jangan kau layani aku dengan duduk berhadap-hadapan denganku. Aku ingin seperti itu, sehingga yang kau lihat hanyalah nasihat dan sapaan biasa. Namun, jika engkau berusaha menatap mataku, aku tidak mau betapa rasa asih dan rahmat atas rasa itu sendiri terlihat lemah.

Apakah engkau tahu berapa lama aku menahan rasa benci terhadap situasi itu? karena ketika engkau duduk bersamaku, aku takut tidak akan sanggup lagi menahan segala daya yang selama ini tersyirat. 

Aku tidak sanggup lagi menahan kata yang selama ini ingin mengucap. Atau aku tidak tahan lagi menahan kehendakku sendiri, bahwa selama ini aku hanya melihatmu. Persis seperti yang sedang kita alami.

Bualan-bualan itu banyak berserakan, karena orang yang kalut dalam hasrat cintanya hanya akan seperti orang bodoh yang suka menjilat-jilat, mengorbankan kemakmurannya, demi memberi kesan bahagia terhadap kekasihnya. 

Mereka takluk oleh dirinya sendiri ketika melakukan pengejaran sesuatu yang dianggapnya cinta. Sedangkan kebanyakan dari mereka tak sadar bahwa yang mereka inginkan adalah kepuasan hasrat pribadi. Bukan ketulusan apalagi cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun