Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Menelusuri "Pikir"

21 September 2020   16:07 Diperbarui: 21 September 2020   16:21 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermula dari sebuah wacana untuk mengadakan sebuah lingkaran kecil yang lebih memfokuskan daya olah pikir setelah Selasan di Gubuk Kebon oleh beberapa orang. 

Selang beberapa hari kemudian pada hari Jum'at, 18 September 2020, wacana tersebut langsung terealisasi. Kesungguhan niat dari beberapa elemen yang terkait, menjadi faktor penting dalam percepatan merealisasikan wacana tersebut.

Acara yang pertama ini diadakan di tempat Mas Taufan, kompleks Bumi Prayudan, Mertoyudan, dengan dihadiri oleh 8 orang peserta. Lahirnya lingkaran baru dari sebuah lingkaran yang lebih besar ini mulanya sudah diantisipasi, utamanya terkait denga prasangka yang akan muncul karena sudah menjadi budaya yang tidak disadari menjadi penghambat proses kebersamaan. 

Kuda-kuda seperti ini penting sebagai pondasi awal dari sebuah pergerakan yang tujuan utamanya bukan memisahkan, melainkan justru untuk lebih menguatkan.

Tepat pukul 9 malam, semua sudah berkumpul. Disiplin dengan waktu setidaknya menjadi pertanda akan kedaulatan diri yang sudah menjadi bekal untuk mengarungi perjalanan awal majelis ini. Selain itu, hal ini juga membuktikan kesiapan untuk menerima pemikiran apapun yang menjadi wujud akan kerendah-hatian terhadap ilmu itu sendiri.

Sesi pertama diawali dengan lontaran pertanyaan oleh Mas Sigit, "Apa yang sebenarnya mesti menjadi bahan berpikir terlebih dahulu?" Sembari memberi waktu untuk menyusun jawaban, majelis ini sekiranya perlu ditata terlebih dahulu mengenai teknis yang tentunya berkaitan dengan konsep dan aturan yang perlu didisiplinkan sedari awal. 

Beruntung, peserta yang terbatas menjadi nilai yang positif untuk segera menemukan kesepakatan. Meskipun nantinya, konsep ataupun aturan yang berlaku bersifat dinamis.

Setidaknya, majelis ini nantinya juga akan melatih daya ungkap atau cara bicara seseorang di depan umum, dengan tanggung jawab ilmu yang disampaikan. Jam terbang diperlukan dalam melatih penyampaian sebuah ilmu lewat obrolan. Karena mental nantinya akan sangat mempengaruhi fokus ketika berbicara. Di samping itu, majelis ini juga diharapkan menjadi latihan terbiasa dengan budaya mendengarkan.

Terkadang kita sering tidak sadar lepas kendali ketika berada dalam suatu majelis yang sifatnya cair. Padahal, hal tersebut bisa menjadi sebuah perwujudan sikap rendah hati.Untuk mau belajar (mendengarkan) dari siapa saja dan dengan siapa saja. 

Agar terbiasa untuk memperhatikan, karena kelemahan yang sering tidak disadari adalah kita tidak menganggap penting atas sesuatu yang disampaikan sehingga membuat kita riuh sendiri.

Setelah waktu dirasa cukup untuk membahas segala sisi dari majelis mikir-mikir ini, teman-teman yang hadir pun secara bergiliran memberikan pandangannya mengenai apa yang sebelumnya menjadi pertanyaan mengenai "berpikir". Mang Yani yang mendapat kesempatan pertama kurang lebih menjelaskan, bahwa berpikir tergantung subjek sebagai konotasi dari diri jamak atau tunggal. 

Mang Yani memakai ungkapan "aku berpikir, maka aku ada" sebagai kacamata pandang dalam menjelaskan berpikir. Hingga akhirnya memberi kesimpulan jika manusia mudah untuk mengenal satu dengan yang lainnya, tapi tidak mengenal dirinya sendiri.

Mas Arif Playheart mendapat giliran kedua. Dia kurang lebih berpendapat bahwa berpikir merupakan bagian dari proses pengendalian diri yang menjadi sebuah rangkian dari logika-logika beserta efeknya. 

Agar tidak mudah menimbulkan prasangka dan menciptakan sebuah keseimbangan. Kemudian Pak Sholeh yang mendapat giliran berikutnya menjelaskan bahwa berpikir akan menuntun kita ke perjalanan waktu yang bermuara pada proses spiritual. 

Berpikir sendiri menurut Pak Sholeh merupakan salah satu cara untuk mencari kebaikan demi dirinya sendiri. Baik di dunia hingga sampai ke akhirat. Mas Ipul pun juga ikut menyampaikan pendapatnya, bahwa mikir itu sebenarnya berpikir atau hanya sebatas prasangka. Menurutnya, berpikir hanyalah prasangka yang hanya dibolak-balik.

Dari kata pikir sendiri, kita sebenarnya bisa mencari letakknya dimana? Posisi yang tepat seperti apa? Kapan? Bagaimana? Arah dari pikir itu sendiri akan dibawa kemana? 

Setidaknya dari pertanyaan-pertanyaan itu, kita dapat mengetahui teknis dasar bahwa dalam menjelaskan sesuatu diperlukan juga tuntunan untuk mengetahui disiplin ilmu. Bukankah pernah salah seorang bijak berkata, "sebesar apa kamu mengenali dirimu, semakin besar pula sesuatu yang nantinya akan didapatkan."?

Mas Sigit menjelaskan bahwa berpikir merupakan aktivitas pikiran. Berpikir adalah gabungan antara rasa dan intelektual seseorang, yang menjadi output dari kerja sistem saraf otak kita. 

Laku manusia adalah salah satu sistem yang merupakan satu kesatuan dari energi yang dihasilkan oleh pikiran. Pikiran merupakan pusat pemerintahan bagi jasad manusia.

Pikiran sendiri berasal dari prosesi akal, yang Mas Sigit membaginya menjadi 2, yakni akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis merupakan akal yang mampu menerima arti-arti dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang pada umumnya. Sedangkan akal teoritis merupakan akal yang mampu memahami arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam benda/ materi, misal ruh, Tuhan, dan lainnya.

Mas Sigit kemudian memberikan contoh dengan menggunakan logika nubuwah, dengan memberikan cerita ketika Aisyah membagi-bagikan makanan sehingga tinggal sedikit yang tersisa makan untuk Kanjeng Nabi. Namun, Kanjeng Nabi memberikan pikiran yang berbeda, bahwasanya sejatinya makanan yang dimakan oleh Beliau adalah yang telah dibagi-bagikan, bukan apa yang tersisa. Tentu, hanya manusia yang mampu berpikiran secara teoritis dan menangkap logika nubuwah tersebut.

Dokpri
Dokpri
"Agama tanpa ilmu itu lemah, dan ilmu tanpa agama itu buta"

Majelis ini sangat menarik meski banyak menuntut otak untuk terus dan berkonsentrasi. Waktu yang cepat berlalu menjadi bukti nyata ketika semua begitu menikmati dan enjoy dengan sajian ilmu yang saling ditawarkan satu dengan yang lainnya.

Mang Yani yang memiliki basic seorang seniman memberikan respon, bahwa berpikir ini cenderung memiliki struktur atau tingkatan seperti apa yang telah menjadi pilar kebudayaan, yakni logika, etika, dan estetika. 

Mudahnya, ketika kita sama-sama telah mengalami proses pembelajaran bersama dalam Maiyah, sama seperti apa yang telah banyak disampaikan oleh Mbah Nun, terkait baik, benar, dan indah. "Agama tanpa ilmu itu lemah. Dan ilmu tanpa agama itu buta."

Mas Taufan juga sedikit menyampaikan apa yang mesti menjadi prioritas dalam berfikir. Menurutnya, sebagai sesuatu yang hidup, satu kepastian yang akan ditemui adalah mati. Maka dari itu, yang menjadi pertimbangan dalam menentukan porsi berfikir adalah kesadaran untuk melibatkan peran Tuhan dalam segala proses berpikir.

Karena nantinya, hal tersebut akan mempengaruhi pembendaharaan yang akan menjadi bekal setiap manusia untuk kembali pulang. Dan secara otomatis pula ketika kita menanamkan hal tersebut, akan mempengaruhi kebiasaan kita dalam melakukan ibadah muamalah.

Workshop kecil mengisi waktu di tengah-tengah acara, yakni belajar tentang moderator. Salah satu dari kami ditunjuk sebagai moderator sedangkan yang lainnya mempersiapkan apa yang diketahui tentang moderator. 

Yang unik, kesempatan dalam memberikan argumen tentang moderator nantinya akan dibatasi hanya dengan durasi 1 menit. Tentu saja, secara tidak langsung pikiran akan banyak menuntut hasil yang maksimal dengan waktu yang terbatas. Berbagai macam model argumentasi jawaban mewarnai sesi yang bisa menjadi salah satu hiburan kita pada malam hari ini.

Seluruh kegiatan awal ini masih bersifat responsif. Alur pembelajaran pun masih random dan zig-zag. Banyak hal yang mesti dibenahi secara teknis agar suatu saat jika majelis ini semakin bertambah peminatnya, mampu menyajikan prasmanan ilmu yang mampu dinikamti oleh segala yang hadir.

Salah satu kesimpulan yang dapat diambil pada pertemuan ini adalah perilaku manusia akan banyak dipengaruhi oleh cara berfikirnya. Akan lebih bagus apabila segala ilmu yang disampaikan disertai dengan referensi sumber, hingga akan membantu dalam proses identifikasi dan memudahkan apabila ingin menggali lebih dalam suatu ilmu.

Segala sesuatu yang telah dipelajari, terutama terkait dengan ilmu, menemukan maknanya asal segala bahasan ilmu tadi mampu mendekatkan diri kita kepada Yang Maha Mengetahui. Bacaan Tarhim sebelum Shubuh menjadi pertanda bahwa pertemuan ini mesti segera dipungkasi. 

Tulisan ini pun juga tak mampu menangkap segala makna akan ilmu yang telah termuat dalam pertemuan pertama ini yang berlangsung sekitar 7 jam lebih. Nyuwun agunging pangapunten menawi tasih kathah lepatipun lan maturnuwun!

***

 Megelang, 19 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun