Bermula dari sebuah wacana untuk mengadakan sebuah lingkaran kecil yang lebih memfokuskan daya olah pikir setelah Selasan di Gubuk Kebon oleh beberapa orang.Â
Selang beberapa hari kemudian pada hari Jum'at, 18 September 2020, wacana tersebut langsung terealisasi. Kesungguhan niat dari beberapa elemen yang terkait, menjadi faktor penting dalam percepatan merealisasikan wacana tersebut.
Acara yang pertama ini diadakan di tempat Mas Taufan, kompleks Bumi Prayudan, Mertoyudan, dengan dihadiri oleh 8 orang peserta. Lahirnya lingkaran baru dari sebuah lingkaran yang lebih besar ini mulanya sudah diantisipasi, utamanya terkait denga prasangka yang akan muncul karena sudah menjadi budaya yang tidak disadari menjadi penghambat proses kebersamaan.Â
Kuda-kuda seperti ini penting sebagai pondasi awal dari sebuah pergerakan yang tujuan utamanya bukan memisahkan, melainkan justru untuk lebih menguatkan.
Tepat pukul 9 malam, semua sudah berkumpul. Disiplin dengan waktu setidaknya menjadi pertanda akan kedaulatan diri yang sudah menjadi bekal untuk mengarungi perjalanan awal majelis ini. Selain itu, hal ini juga membuktikan kesiapan untuk menerima pemikiran apapun yang menjadi wujud akan kerendah-hatian terhadap ilmu itu sendiri.
Sesi pertama diawali dengan lontaran pertanyaan oleh Mas Sigit, "Apa yang sebenarnya mesti menjadi bahan berpikir terlebih dahulu?" Sembari memberi waktu untuk menyusun jawaban, majelis ini sekiranya perlu ditata terlebih dahulu mengenai teknis yang tentunya berkaitan dengan konsep dan aturan yang perlu didisiplinkan sedari awal.Â
Beruntung, peserta yang terbatas menjadi nilai yang positif untuk segera menemukan kesepakatan. Meskipun nantinya, konsep ataupun aturan yang berlaku bersifat dinamis.
Setidaknya, majelis ini nantinya juga akan melatih daya ungkap atau cara bicara seseorang di depan umum, dengan tanggung jawab ilmu yang disampaikan. Jam terbang diperlukan dalam melatih penyampaian sebuah ilmu lewat obrolan. Karena mental nantinya akan sangat mempengaruhi fokus ketika berbicara. Di samping itu, majelis ini juga diharapkan menjadi latihan terbiasa dengan budaya mendengarkan.
Terkadang kita sering tidak sadar lepas kendali ketika berada dalam suatu majelis yang sifatnya cair. Padahal, hal tersebut bisa menjadi sebuah perwujudan sikap rendah hati.Untuk mau belajar (mendengarkan) dari siapa saja dan dengan siapa saja.Â
Agar terbiasa untuk memperhatikan, karena kelemahan yang sering tidak disadari adalah kita tidak menganggap penting atas sesuatu yang disampaikan sehingga membuat kita riuh sendiri.
Setelah waktu dirasa cukup untuk membahas segala sisi dari majelis mikir-mikir ini, teman-teman yang hadir pun secara bergiliran memberikan pandangannya mengenai apa yang sebelumnya menjadi pertanyaan mengenai "berpikir". Mang Yani yang mendapat kesempatan pertama kurang lebih menjelaskan, bahwa berpikir tergantung subjek sebagai konotasi dari diri jamak atau tunggal.Â