Selama ini kita pasti tidak asing dengan istilah sanad. Akan tetapi kata sanad ini sering dipakai untuk mengetahui jalur-jalur riwayat perawi hadits. Sanad ini sendiri lebih banyak diketahui dalam konteks sanad ilmu, daripada sanad-sanad yang lain. Bahkan, apabila kita mendengar ada seseorang yang memakai "sanad", mungkin akan terkesan lebih intelek, berbobot, atau mungkin sakral.
Sanad berbeda dengan nasab. Nasab adalah silsilah garis keturunan seseorang. Biasanya, orang yang menyanyakan nasab akan seseorang karena kepiwaian atau keahliannya dalam melakukan sesuatu sehingga memungkinkan orang tersebut masih memiliki hubungan darah atau garis keturunan dari orang-orang terdahulu.
Mungkin perjalanan esai kali ini akan dimulai dari sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh salah seorang Kiai, "Mengapa Nabi Musa as. tidak lulus ujian ketika berguru kepada Nabi Khidir as.?" Ya, beliau kurang lebih dinyatakan tidak lulus karena persyaratan utama dan mungkin satu-satunya prasyarat yang diberikan oleh Baginda Khidir.
Nabi Musa datang sebagai murid dengan muatan gelas yang sudah terisi banyak ilmu. Sehingga 3 kejadian yang diperlihatkan oleh Nabi Khidir kepada Nabi Musa tidak dibenarkannya sesuai cara pandang ilmu yang menjadi bekalnya. Nabi Musa merasa berhak untuk mengajukan protes atau keberatan atas sesuatu yang sedang diajarkan kepada beliau. Meski pada akhirnya, bekal tersebut hanya jadi tendensi yang membuat beliau tidak lulus.
Kita sendiri secara tidak sadar mencari pendidikan formal melalui fakultas-fakultas dengan jusrusan tertentu demi mendapatkan sebuah legalitas ilmu. Baik di unversitas, sekolah, pondok pesantren, ataupun lingkungan pendidikan lainnya, apakah kelulusan menjadikan kita lebih merdeka atau justru terpenjara? Akan bekerja ala kadarnya atau merasa pantas untuk menentukan standar upah atas ilmunya?
Sanad keilmuan itu penting, layaknya sanad-sanad penafsiran akan suatu sumber ilmu. Asalkan menjadikan diri menjadi lebih mandiri dan dapat mempertanggungjawabkan segala ilmu yang dititipkan kepadanya. Sanad ilmu berkembang layaknya tafsir yang menjadikan semakin banyaknya golongan-golongan yang saling memegang pemahamannya sendiri. Tidak ada yang salah jika perbedaan itu tercipta, yang kurang tepat jika akhirnya diantara banyak perbedaan itu menimbulkan budaya kompetisi untuk saling menjatuhkan demi sebuah kekuasaan.
Bayangkan saja jika golongan-golongan itu terbagi menjadi 70-an dan hanya ada satu golongan yang akan diakui menjadi golongan Kanjeng Nabi, kira-kira sanad ilmu seperti apa yang memiliki syarat tersebut? Tentu tidak ada yang mengetahuinya. Namun, jika melihat output dari yang diajarkan Rasullullah adalah akhlak, yang menjadi perbedaan utama dari kompetisi kebenaran antar golongan adalah sikap kerendah-hatian.
Selama ini kita banyak mendapatkan pendidikan mengenai adab atau sopan santun terhadap orang tua ataupun guru. Hingga ke-takdhim-an yang berlebih malah sering membuat kita tak sadar telah menjadi fanatik. Padahal, sesuatu yang berlebih-lebihan itu selalu kurang tepat dalam ruang dan waktu apapun.
Kita terbiasa tunduk, bukan melatih diri dalam hubungan untuk saling mencinta. Di lingkungan manapun. Sedangkan segala sesuatu yang kita temui dan anggap sebagai guru sebenarnya menurut salah seorang Kiai bisa diibaratkan sebagai guru imitasi. Atau manifestasi akan satu Guru Yang Sejati. Dia adalah Yang Maha Mengetahui, yang menjadi sumber dari segala ilmu. Sehingga, guru yang menghubungkan, yang mengajarkan, yang memberi, sebenarnya merupakan salah satu cara Tuhan memperkenalkan diri.
Jadi, bukan sebuah ketidakmungkinan apabila syair "Berguru kepada Allah" pernah tercipta. Bukan sebuah ketidakmungkinan apabila kita ingin langsung mengambil ilmu-ilmu yang Dia berikan melalui pengalaman-pengalaman yang selalu kita hadapi sehari-hari. Sedangkan, pengalaman itu adalah guru yang terbaik, kenapa? Karena tidak ada suatu daya apapun tercipta atas ijin Allah.
Manusia hanya terlalu banyak membayangkan akan terlepas dari segala kedholiman dan kesemberonoan sekalipun dengan energi dan usaha, bahkan ilmu. Kecuali hanya kekecewaan dan kegagalan. Seolah-olah Tuhan mengatakan bahwa kalian pikir semua usaha, energi, dan amalmu itu akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal tersebut? Kecuali telah Aku tetapkan berkah dan rahmat kepadamu.