Dalam tajuk Kritik Kepada Maiyah, terdapat tiga poin yang disampaikan oleh Simbah ketika menghadapi keadaan mungkar. Biyadihi, bilisanihi, dan biqalbihi atau mudahnya Mbah Nun mengistilahkan dengan tenaga, lisan, dan hati. Maiyah dalam tajuk ini diposisikan oleh Simbah masih dalam ranah biqalbihi/dibatin atau adl'aful iman/serendah-rendahnya iman.
Maka dari itu, maiyah mendapatkan kritik. Kritik sendiri merupakan bagian dari cerminan tentang cara lingkungan sekitar memandang. Sebaik-baik apapun niat, kita tidak akan bisa menghindari yang namanya kritik.
Toh, kita juga memiliki kebebasan apapun untuk melakukan kritik terhadap apapun yang tidak sesuai dengan nilai yang kita pegang. Jadi kita tinggal memilih, menjadikan kritik sebagai sesuatu yang membangun atau sibuk membantahnya.
Ilmu akan diuji seiring datangnya sebuah kritikan. Tawadlu' dan takabur menjadi pilihan sikap yang seyogyanya akan menuntun kita ke level berikutnya. Jika kita sedang dalam ranah biqalbihi, kemungkinan kritikan itu menjadi sebuah ujian agar kita lekas bergerak menuju bilisanihi. Namun, tangga perjalanan ini sangatlah rentan oleh karena pilihan sikap yang mesti disadari penuh dengan kelembutan.
Dari arena mbatin menuju panggung pertunjukan lisan, ada sebuah proses yang betul-betul membutuhkan sikap kerendah-hatian, yakni budaya mendengarkan. Dalam ayat "shummum bukmun 'umyun fa hum l yarji'n" (Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), sangat jelas bahwasanya kendala utama bukan karena tidak bisa berbicara atau tidak bisa melihat. Akan tetapi shummum atau tuli, yakni tidak mendengar.
Mendengar akan menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang merasa telah memiliki ilmu. Apalagi bersedia "Mencatat Makna" atas segala pertemuan yang diijinkan menjadi bagian pengalaman dari perjalanan hidup kita masing-masing.Â
Mendengarkan orang berbicara itu adalah bagian dari indahnya saling menghargai. Yang memperluas cakrawala pandang dalam memahami sesuatu, dan melatih kedalaman hati seiring terkikisnya harga diri yang sebelumnya terpatok oleh sikap rumongso ngelmu.
Dengan merasa memiliki ilmu, kita acapkali terjebak oleh kesombongan. Untuk melakukan revolusi sosial atau biyadihi, Mbah Nun berpesan bahwa sebelumnya "pemimpin negara" harus terlebih dahulu melakukan revolusi ke dalam.Â
Pemimpin negara itu simbol. Bisa jadi esok atau suatu saat nani, salah satu dari Ummat Maiyah akan memegang amanah tersebut tidak hanya menjadi pemimpin negara, tapi menjadi sejatinya seorang pemimpin setidaknya di lingkungannya masing-masing. Â Untuk revolusi ke dalam, kita bisa berlatih mulai dari revolusi spiritual atau biqalbihi, lalu revolusi kultural atau bilisanihi.
Dan yang harus digarisbawahi, bahwa syarat dari perjalanan revolusi tersebut adalah membuang segala muatan pribadi hidup seperti yang sudah dituliskan oleh Mbah Nun. Keberangkatan nilai yang menjadi prinsip awal niat keberangkatan harus terlepas dari tendensi pribadi apapun, kecuali menyadari peran yang telah diamanahkan sebagai khalifah di muka bumi, sebagai abdan 'abdiyya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H