Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sopir-sopir Batin

24 Juli 2020   16:18 Diperbarui: 24 Juli 2020   16:16 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengemudi kendaraan roda 4 sering diistlahkan sebagai sopir. Dan sudah menjadi rutinitasnya bahwa mengemudi merupakan hal yang biasa dilakukan sehari-hari. Tidak begitu beda dengan para pekerja dengan profesi lainnya yang memiliki rutinitas mencari penghidupan yang lain. Semua memiliki beban dan resiko keletihan yang tidak bisa disamaratakan.

Orang yang tidak memiliki kebiasaan mengemudi sekali waktu dalam rentan waktu yang lama, pasti akan mengalami kecapekan. Begitu pun sebaliknya, orang yang tidak biasa mendayagunakan pikirannya dengan banyak menghabiskan waktu di depan layar komputer, pasti juga akan mengalami tingkat kejenuhan bahkan stress. Sesuatu yang sudah menjadi pilihannya dalam mencari penghidupan, perlu kita hargai dengan tidak saling merendahkannya.

Mengapa kita mesti disibukkan dalam mencari penghidupan? Bukankah Tuhan sudah memberikan jaminan atas sesuatu yang telah dihidupkan? Selain itu, mengapa kita mesti diciptakan dengan perbedaan yang begitu banyak? Kita membutuhkan pertanyaan-pertanyaan agar kita mengetahui bahwa salah satu kalimat nantinya akan bermakna sebagai sebuah jawaban.

Kita sebenarnya merupakan seorang ahli mengemudi. Hanya perbedaannya terletak pada sesuatu yang dikemudikan. Kendaraan dan berbagai alat lainnya merupakan benda mati yang butuh dikendalikan sehingga mampu meningkatkan efektivitas waktu ataupun tenaga. Memangkas jarak yang begitu jauh hingga menjadikannya terasa dekat.

Seorang pemain bola pun ketika mendribel sebuah bola juga dibutuhkan skill mengemudi yang mumpuni. Operator mesin pabrik juga harus pandai mengemudikan mesinnya dengan begitu banyaknya tombol dalam ruang kerjanya. Pada akhirnya, mengemudi sebenarnya memiliki kesamaan sumber yakni daya akal untuk mengendalikan sesuatu menjadi lebih bermanfaat sebagaimana fungsinya.

Kita tidak sadar telah menjadi sibuk oleh orientasi tujuan yang nyata, yakni penghidupan. Baik itu demi meraih cita-cita sampai menjadi orang yang bermanfaat. 

Semua pasti sadar dan berusaha agar dirinya menjadi manfaat bagi lingkungannya, walau terkadang sering disalahpahami dan diprasangkai karena nilai yang dipegang berbeda. Segala yang hidup pasti dalam sanubarinya juga menyadari tujuan yang hakiki adalah kembali ke pangkuannNya dengan selamat.

Tapi, orang-orang sibuk berdebat tentang kendaraan yang dikenderai. Atau sibuk saling tuduh atas cara mengendarai kendaraan. Semua sibuk dengan hijab-hijabnya sendiri dan menghabiskan waktunya atas sesuatu yang nampak di luar dirinya. 

Tidakkah sekali-kali kita melihat bagaimana waktu itu berputar siang dan malam? Adakah diantara 2 waktu tersebut yang selalu menyibukkan dirinya untuk terus mencoba memahami kendaraan yang dikemudikannya?

Mayoritas dari manusia tidak sadar bahwa semua manusia merupakan seorang pengemudi dari raga merupakan kendaraannya. Untuk mengarungi perjalanan hidup di dunia yang juga butuh diperjuangkan. Kendaraan itu sangat sulit dikendalikan. Sekalipun akal, hati, dan jiwa berkolaborasi, kendaraan ini ibarat monster yang selalu melakukan perlawanan terhadap kemurnian. 

Tapi, disitulah asyiknya! Kita tidak bisa membantah kodratNya, bahwa jihad akbar merupakan pengendalian terhadap kendaraan itu. Atau melawan hasrat dan nafsu yang tak henti menyapa sampai kematian datang menjemput di suatu waktu.

Sesuatu itu menjadi asyik karena kita semua dalam ketidaktahuan. Meski kita sadar apa yang hakikinya menjadi kendaraan, tapi kita tak lebih dari seorang manusia. Semua berusaha memahami Tuhan dengan variasi kendaraan yang disewakan. 

Semua sejatinya juga menjadi sopir-sopir batinnya masing-masing untuk menuju arah yang sejati. Bukankah semua itu proses? Sebaik-baik pengetahuan manusia tentang Tuhan, maka pemahaman tersebut bukanlah Tuhan.

Kita seperti binatang-binatang kecil yang mengerumuni cahaya. Mereka membakar dirinya sendiri dan rela merasakan sakit yang dirasakan. Mereka sedia menuju cahaya yang kelak menghancurkan dirinya. Dan apabila cahaya itu tak mampu menghancurkan binatang tersebut, maka ia bukanlah cahaya yang dituju. Binatang kecil dan cahaya tersebut layaknya hubungan Tuhan dan manusia.

Hanya saja, untuk menjadi satu, masih dibutuhkankah kendaraan itu? Gunung yang sangat perkasa pun hancur, apalagi tubuh ini. Yang teramat-sangat disayang-sayang dan dielu-elukan, bahkan dipertahankan mati-matian. 

Di sisi lain, sebagian dari mereka tak henti-hentinya berjalan di 2 waktu siang dan malam untuk terus belajar memahamiNya. Tanpa memperdulikan kesehatan kendaraannya. Bukankah memahami diri pun sudah sulit?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun