Sesuatu itu menjadi asyik karena kita semua dalam ketidaktahuan. Meski kita sadar apa yang hakikinya menjadi kendaraan, tapi kita tak lebih dari seorang manusia. Semua berusaha memahami Tuhan dengan variasi kendaraan yang disewakan.Â
Semua sejatinya juga menjadi sopir-sopir batinnya masing-masing untuk menuju arah yang sejati. Bukankah semua itu proses? Sebaik-baik pengetahuan manusia tentang Tuhan, maka pemahaman tersebut bukanlah Tuhan.
Kita seperti binatang-binatang kecil yang mengerumuni cahaya. Mereka membakar dirinya sendiri dan rela merasakan sakit yang dirasakan. Mereka sedia menuju cahaya yang kelak menghancurkan dirinya. Dan apabila cahaya itu tak mampu menghancurkan binatang tersebut, maka ia bukanlah cahaya yang dituju. Binatang kecil dan cahaya tersebut layaknya hubungan Tuhan dan manusia.
Hanya saja, untuk menjadi satu, masih dibutuhkankah kendaraan itu? Gunung yang sangat perkasa pun hancur, apalagi tubuh ini. Yang teramat-sangat disayang-sayang dan dielu-elukan, bahkan dipertahankan mati-matian.Â
Di sisi lain, sebagian dari mereka tak henti-hentinya berjalan di 2 waktu siang dan malam untuk terus belajar memahamiNya. Tanpa memperdulikan kesehatan kendaraannya. Bukankah memahami diri pun sudah sulit?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H