Setiap gerak pada akhirnya akan berbenturan antara satu dengan yang lainnya. Semua akan pada sampai titik kesadaran akibat dari benturan tersebut, mulai dari luka yang nampak dan dapat dirasakan oleh panca indera hingga luka yang tak berbekas dan hanya hanya bisa dirasakan oleh hati karena kelembutan benturannya.
Gerak manusia pada umumnya monoton dan mudah diprediksi arah tujuannya. Setiap insan menyibukkan diri dengan sesuatu setiap harinya. Ada yang sibuk dengan cinta pada lawan jenisnya. ada yang sedang fokus mengejar harta benda dan uang yang selalu diupayakan.Â
Begitu pula dengan yang banyak mengisi waktunya dengan terus-menerus bergerak sebagai arena untuk mencari ilmu. Masing-masing dari mereka percaya pada kebahagiaan dan kesejahteraan akan terpenuhi dengan memegang prinsip kepercayaannya yang menyibukkan tersebut.
Segala rasa keingintahuan akhirnya menguji niat-niat yang telah terbangun sebelumnya. Membenturkan gerak kelembutan yang telah ditetapkan jalannya selama ini. Pilihannya hanya tetap akan melaju dengan mengindahkan keingintahuan, berhenti karena kebingungan, atau berbelak arah dari niatan awal. Dan semua itu bermanifestasi dalam segala laku kehidupan.
Manusia tidak bisa betul-betul menilai gerak yang lain, kecuali hanya mengidentifikasi atau menetapkan suatu prasangka atas simulasi kejadian yang sudah lalu.Â
Namun, keindahan benturan tersebut seringkali dipersempit oleh ruang benar dan salah oleh orang-orang yang merasa telah mengetahui dan memahami. Sehingga memperbesar potensi konflik dari sekedar batin, menjadi adu mulut sampai adu jotos.Â
Entah karena sudah overload dosis egonya atau karena ketersempitan jiwa dan cakrawala pandang. Di sisi lain, kurangnya ikatan dan saling komunikasi akan semakin mudah menyulut api perselisihan.
Padahal, semua itu bisa dinikmati sebagaimana mestinya. Hanya saja, konflik yang tersulut biasanya terjadi karena kurang tepatnya memposisikan diri dalam ruang gerak kehidupan yang dinamis. Diam terkadang diperlukan untuk mengetahui dan memahami posisi diri.Â
Menurut seorang alim, diam di depan orang-orang bodoh mampu menyelamatkan diri. Sebaliknya, diam di hadapan orang-orang cerdas akan mampu menambah ilmu diri. Meski sekedar mendengarkan, setidaknya hal tersebut akan menjadi proses dekonstruksi cara pandang yang selama ini dipakai.
Dari proses tersebut, nantinya sedikit demi sedikit, diri sendiri seperti menemukan sebuah habitat baru. Sebuah lingkungan dimana sesuai dengan tempatnya.Â
Dalam kenyataan, kejadian tersebut butuh waktu dan juga proses tergantung niat dan keberanian memegang prinsip yang harus radikal ditempakan ke dalam diri sendiri. Hanya saja, keadaan juga akan menguji keberanian tersebut apabila benar-benar menginginkan sebuah perubahan.
Keterasingan seringkali menjadi hal utama yang dihadapi. Lingkungan yang biasanya menjadi habitatnya, seolah mengasingkan dirinya karena perbedaan gerak kelembutan yang telah menjadi prinsip.Â
Apabila kita terus bergerak untuk mencari sesuatu, kita tidak akan menyadari prosesnya sebelum menemukan sesuatu yang dicari tersebut. Kita bisa mengansumsikan gerak itu sebagai sebuah kenikmatan atau rahmat setelah kita mengalaminya. Tentu standar kenikmatan satu orang dengan yang lainnya tidak bsa disamaratakan, sama halnya dengan prinsip nilai yang dipegang.
Ya, mau gak mau kita mesti bergerak dalam perjalanan saat ini. Diam pun juga merupakan pilihan dalam salah satu tahap yang mesti dilalui. Terkadang, kita telah banyak mendapatkan isyarat dari alam.Â
Akan tetapi, sudah terlalu banyak pandangan yang menjadi hijab agar mengetahui isyarat tersebut. Kita sering menyangka bergerak atas dasar pengetahuan dan ilmu yang telah dimiliki.Â
Tapi, andaikata sebanyak-banyak ilmu dan pengetahuan itu sudah dirasa dimiliki, apakah menjadikan gerak perjalanan lebih mudah? Apakah pengetahuan atau ilmu dapat menghindarkan dari luka-luka atas benturan-benturan yang sudah pasti akan terjadi?
Simbah sering memberi peringatan bahwasanya tumbuhan saja mampu bergerak mengikuti cahaya, sedangkan manusia justru sebaliknya. Bergerak menuju kegelapan. Silahkan ditelusuri makna dari pesan Simbah tersebut dan diselaraskan dengan gerak yang sedang kita tapaki.
Kata-kata ini pun juga merupakan hasil dari sebuah gerak. Kata-kata ini tidak memiliki limitasi makna karena tertulis tidak berlandaskan untuk memberi tahu, akan tetapi merupakan sebuah wujud ketidakmengertian. Karena kata-kata itu sendiri tidak bisa dibatasi maknanya, meski seseorang terkadang memaksa pembaca agar mengenal si pencipta kata.
Pernah dalam suatu halaman yang tertulus dalam Fihi ma Fihi karya Jalaludin Rumi tertuliskan, bahwasanya kata-kata pun diwahyukan sesuai dengan kemampuan orang yang sedang mencarinya. Atau yang lebih umum, ilmu itu akan bertemu sesuai dengan niat gerak si pencarinya. Tidak ada satupun, kecuali Dia-lah Sang Maha Pemberi Ilmu. "Dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu." (15:21)
Semua tersebar secara tidak merata sesuai dengan kapasitas dan ukurannya masing-masing. Hanya saja, sediakah kita berserah diri dalam gerak? Dengan memegang kesadaran bahwa Dia-lah Maha Kuasa, penguasa diantara segala penguasa yang menguasai diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H