Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apapun yang Memiliki Awal dan Akhir Hanyalah "Bungkus"

13 Juli 2020   16:25 Diperbarui: 13 Juli 2020   16:20 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bungkus tidak hanya terbatas pada kemasan-kemasan yang biasa menjadi tempat atau wadah bagi sesuatu yang kita beli. Bungkus biasanya dipakai untuk lebih memudahkan manusia ketika membawa barang-barang tertentu. Bungkus itu pun memiliki berbagai macam bentuk dan wujudnya, begitupun dengan bahan dasar pembuatannya. Namun, pada umumnya bungkus atau kemasan lebih banyak menggunakan plastik karena lebih praktis dan ringan dibandingkan bahan lainnya.

 Saat ini, bungkus-bungkus menjadi sangat penting karena menjadi salah satu faktor penting dalam strategi pemasaran. Konsumen dibuat tertarik terlebih dahulu dengan desain atau bentuk kemasan/bungkus yang unik. Dan alat keterpikatan itu merupakan mata-mata penglihatan yang akhirnya mendorong hasrat untuk segera memiliki suatu barang yang memikatnya. Apa yang berada dalam kemasan pada akhirnya akan habis.

Lantas, bukankah saat ini kita juga sedang berada dalam sebuah kemasan besar antara kelahiran dan kematian? Yang di dalamnya menyimpan banyak kemasan-kemasan kecil yang lainnya. Suatu hasrat yang memiliki bungkus yang nantinya akan hilang atau habis. Bahkan ketika dalam keadaan ibadah sekalipun, itu hanyalah sebuah kemasan yang di dalamnya terdapat awal dan akhir. Karena pada akhirnya kita menikmati bagian-bagian yang lain.

Kita hanya berpindah menikmati dari bungkus satu ke bungkus yang lain, hanya saja pemahaman kita masih berbatas. Itu bukan karena diri yang belum mengerti. Hanya saja, lingkungan di sekitar seolah tidak memberikan kesempatan diri untuk meluaskan cakrawala pandang. Lingkungan hanya menambah batas-batas yang mengajak diri untuk segera melahap isi dari bungkus-bungkus nilai yang sedang dinikmati. 

Agar lupa. Itulah kenapa, kita terkadang merasa sunyi dalam riuh. Merasa terasing di lingkungan sendiri. Karena kehendak kita mengajak untuk tidak menikmati bungkus-bungkus yang sedang dinikmati oleh lingkungan di sekitar kita.

Terdapat bungkus bernama nafsu, yang di dalamnya terkandung segala sifat dari syahwat, angkara hingga dalam keadaan lapar. Terdapat pula bungkus akhlak yang baik, dengan barbagai varian rasa mulai dari sabar, jujur, ikhlas, dsb. 

Kita sedang berada dalam perjalanan dengan bekal berbagai bungkus tersebut. Layaknya cemilan yang tinggal kita pilih sesuai dengan kehendak hati masing-masing. Karena hati lah pada akhirnya yang menentukan selera.

Kita semua dibekali sesuatu yang sama. Tidak kurang tidak lebih. Kita sebagai manusia biasa tidak akan lepas dari kenikmatan rasa yang tersaji dalam setiap bungkus nafsu ataupun akhlak. Kita bukan seorang Nabi Muhammad yang telah disucikan hatinya dari berbagai penyakit hati. Kita masih memiliki sisa-sisa kedholiman yang suatu saat akan ikut kita makan, karena itulah bekal perjalanan kita.

Tujuan tidak akan tercpai tanpa bekal yang memadai. Kita tidak bisa memilih satu sisi. Hanya saja, kita diberikan pilihan untuk menahan atau berpuasa. Untuk tidak mengenyam sesuatu yang ada di hadapan kita. Manusia diberi kelebihan akal untu didayagunakan seoptimal mungkin untuk sanggup menikmati segala peristiwa yang menyudutkan kita untuk memakan apa yang ada dalam bungkus atau kemasan yang berisikan nafsu.

Semua yang mengandung awal dan akhir tak lebih dari kemasan chiki-chiki yang dijajakkan di warung-warung pinggir jalan. Kecondongan diri memang akan mengambil atau mengikatkan diri pada jajanan-jajanan tersebut karena rasa takut akan menahan hasrat-hasrat yang tersembunyi. Semakin dewasa, kecerdasan tidak utama lagi untuk ditularkan, akan tetapi digunakan sebagai untuk menyembunyikan diri yang sebenarnya.

Kita bukan tipikal manusia Khidir atau Siti Maryam. Bahkan untuk menapaki seseorang yang mempercayai min haitsu la yahtasib pun masih mbulet dengan banyak pertimbangan. Kita ini hanya seorang peminta-minta dan pengemis akan kemanan dan keselamatan yang dianggapnya berbeda bungkus. Padahal itu berada dalam satu paket bungkus besar diantara kelahiran dan kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun